7/18/12

Menyoal Penilaian Kembali dan Deaksesi Arsip



Beberapa waktu yang lalu saya membaca Guidelines for Reappraisal and Deaccessioning (linknya klik disini) di situs The Society of American Archivists (SAA). Kalau kita terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia kurang lebih artinya Panduan Penilaian Kembali (Arsip) dan Deaksesi Arsip. Barangkali di antara para arsiparis, akademisi, atau pegiat kearsipan baru kali ini mendengar istilah deaksesi arsip. Kalau istilah "penilaian arsip" barang kali kita sudah sering mendengar istilah ini, tetapi ternyata arti dari "penilaian arsip" dalam panduan ini berbeda dari istilah di negara kita. Di Indonesia, khususnya di instansi pemerintah istilah penilaian kembali lebih mengacu pada penilaian kembali arsip yang dinamis, bukan arsip statis. Ya iya lah, masak arsip statis dinilai kembali, kan ia sudah permanen alias sudah terpilih "masuk surga". Barangkali pembaca akan berargumen seperti saya karena selama ini ilmu yang kita dapatkan baik dari bangku kuliah maupun dari pendidikan dan pelatihan memang seperti itu. Akan tetapi di luar negeri, khususnya di Amerika, arsip statis yang disimpan di lembaga kearsipan nasional maupun swasta bisa dinilai kembali atau bahkan ditarik lagi ke unit penciptanya atau pendonornya. Kok bisa begitu ya.... Sebelum lebih lanjut membahas soal ini mari kita lihat definisi dari reappraisal dan deaccessioning berikut ini.


  1. Penilaian Kembali: (1) Konteks Arsip Statis --> Proses mengidentifikasi materi arsip statis yang tidak lagi dianggap layak untuk disimpan permanen (preservasi dan disiapkan untuk di-deaksesi. (2) Konteks Arsip Dinamis --> Proses meninjau kembali materi arsip dinamis untuk ditaksir ulang nilai guna retensinya

  2. Deaksesi: Proses yang dilakukan oleh lembaga kearsipan, museum, atau perpustakaan untuk menyingkirkan secara permanen terhadap materi yang diperolehnya dari khasanah yang dimilikinya.


  3. Dari dua terminologi kearsipan di atas, istilah deaksesi dan penilaian kembali arsip point pertama tampaknya terdengar asing di telinga kita. Wacana deaksesi arsip sebenarnya sudah mengemuka sejak beberapa tahun silam di Amerika, khususnya ketika Leonard Rapport menulis suatu artikel yang berjudul "No Grandfather Clause: Reappraising Accessioned Records" yang dipresentasikan pada pertemuan tahunan the Society of American Archivists (SAA) tahun 1981. Rapport berpendapat bahwa arsiparis perlu melakukan penilaian kembali arsip dan deaksesi arsip. Ia memberi contoh koleksi tentang Dewan Pengaturan Upah pada Perang Dunia II yang semula pada tahun 1946 jumlah arsipnya mencapai 700 meter lari, terus berkurang menjadi 175 meter lari setelah dilakukan penilaian. Akan tetapi, ketika dinilai kembali pada tahun 1974, koleksinya berkurang menjadi 24 meter lari, artinya ada penghematan 676 meter lari terhadap tempat simpan. Rapport berpendapat bahwa arsiparis perlu meninjau ulang koleksinya terhadap materi yang sudah tidak relevan lagi. Menurutnya, penilaian kembali arsip yang selanjutnya mengakibatkan deaksesi arsip yang dianggap tidak bernilai guna akan menguntungkan lembaga kearsipan karena menghemat tempat simpan, preservasi, dan sumber daya manusianya (Benedict, 1984:44). Rapport percaya bahwa setiap lembaga kearsipan paling tidak menyimpan arsip yang seharusnya tidak disimpan dan diolah pada waktu akuisisinya (Benedict, 1984:44).

    Sebenarnya, Rapport tahu bahwa arsiparis perlu mengidentifikasi arsip-arsip dinamis yang bernilai guna kebuktian dan informasional sebagaimana yang disarankan oleh Schellenberg, namun Rapport tidak setuju pendapat Schellenberg bahwa setiap catatan tertulis (baca:arsip dinamis) milik pejabat pemerintah wajib dipertahankan /disimpan (Rapport, 1981:147).

    Selain Rapport, pemicu munculnya wacara deaksesi dan penilaian kembali adalah artikelnya Karen Benedict yang berjudul "Invitation to a Bonafire: Reappraisal and Deaccessioning of Records as Collection Management Tools in an Archives - A Reply to Leonard Rapport" tahun 1984. Artikel ini merupakan counter atas pendapat Rapport sebelumnya. Secara umum, Benedict tidak setuju dengan pendapat Rapport terkait dengan perlunya deaksesi koleksi, namun Benedict membuat penilaian yang realistis tentang prioritas kearsipan dan problem anggaran (baca; keuangan/pendanaan) yang banyak dihadapi oleh lembaga kearsipan atau unit kearsipan ketika Ia mengomentari bahwa arsiparis tidak secara reguler melakukan penilaian kembali khasanah arsipnya, atau bahkan menyelesaikan pengolahan arsip yang belum diolah, karena masalah biaya (1984:45). Menurut Benedict, lembaga kearsipan perlu segera menyelesaikan pengolahan arsip-arsip yang belum diolah sebelum menyingkirkan arsip-arsip yang tidak dibutuhkan lagi . Benedict menentang pendapat Rapport tentang metodologi penyiangan (weeding) arsip dinamis. Menurutnya, akan sangat berbahaya bila seorang arsiparis mencoba menyingkirkan arsip sedikit demi sedikit layaknya menyiangi bahan pustaka.

    Kesimpulan

    SAA sebagai wadah para praktisi, akademisi, dan pemikir bidang kearsipan tingkat dunia berusaha mewadahi pendapat tentang penilaian kembali arsip dan deaksesi arsip. Oleh karena itu, Panduan Penialain Kembali dan Deaksesi Arsip ini merupakan pegangan bagi lembaga kearsipan yang akan melakukan deaksesi arsip. Bagi kita di Indonesia barangkali sampai saat ini belum mengalami pengalaman hal serupa seperti di negara - negara Barat tapi Panduan ini sangat berguna bagi kita sebagai wawasan dan bahan kajian di kemudian hari.Rencana stretegis terhadap Penilaian Kembali dan Deaksesi memang dibutuhkan untuk menghindari kemungkinan reaksi negatif dari berbagai pengalokasi sumberdaya, institusi mitra, donor, penelitim dan kolega. Akan tetapi, sebenarnya Penilaian Kembali dan Deaksesi merupakan gagasan yang kontroversial karena archives, baik dalam arti arsip statis maupun lembaga kearsipan merupakan simbol keabadian (permanence), dan arsiparis melihat dirinya sebagai penjaga masa lalu yang independen atau tidak memihak (impartial guardians of the past).

    Bacaan:


    1. A Glossary of Archival and Records Terminology

    2. Benedict, K. (1984). Invitation to a Bonafire: Reappraisal and Deaccessioning of Records as Collection Management Tools in an Archives - A Reply to Leonard Rapport. The American Archivist, 47 (1), 43-49

    3. Greene, M.A. (2006). I've Deaccessioned and Lived to Tell About It: Confessions of an Unrepentant Reappraiser. Archival Issues, 30 (1), 7-22

    4. Gross, James. 2009. Reappraisal and Deaccessioning: A Review of Articles by Karen Benedict, Mark Greene, and Leonard Rapport

    5. Rapport, L. (1981). No Grandfather Clause: Reappraising Accessioned Records. The American Archivist, 44 (2), 143-150.



No comments:

Total Pageviews