Showing posts with label Penilaian Arsip. Show all posts
Showing posts with label Penilaian Arsip. Show all posts

1/5/09

Hubungan Ilmu Informasi dengan Penilaian Arsip

Versi file pdf


Pengantar


Konsep 'informasi' pada era saat ini banyak dijadikan komoditas oleh berbagai disiplin ilmu. Istilah 'informasi' tidak dapat didefinisikan secara final dan tidak ada kesepakatan para pakar, apa itu 'informasi'. Ada yang memaknai informasi dalam arti sempit, yakni serangkaian sinyal atau pesan. Ada juga yang mengartikan informasi sebagai proses kognitif dan kemampuan memahami pada diri manusia, serta ada yang memaknai informasi dalam arti paling luas, yakni selain dikaitkan dengan pesan dan poses kognitif, juga dikaitkan dengan konteks sosialnya, berupa situasi, persoalan, kaitan tugas, dan sebagainya (Pendit, 2003:13). Paling tidak, dalam disiplin akademik ada beberapa ilmu yang mengkaji tentang informasi yang paling banyak dikenal oleh kalangan akademis, yakni informatika, ilmu komputer, sistem informasi, ilmu perpustakaan serta ilmu kearsipan. Ilmu perpustakaan dan ilmu kearsipan sejatinya lebih dulu lahir dan mapan daripada ilmu informasi. Ilmu informasi lahir setelah Perang Dunia (PD) II dan munculnya "ledakan informasi". Seiring dengan perkembangan era informasi dan komunikasi selanjutnya, ilmu-ilmu yang tadinya sudah lahir lebih dulu, seperti ilmu perpustakaan dan ilmu kearsipan berusaha untuk tidak ketinggalan jaman, atau menyesuaikan kebutuhan pasar. Di beberapa negara maju seperti Amerika dan Australia, misalnya, banyak kita lihat universitas penyelenggara ilmu perpustakaan dan kearsipan yang menggabungkan istilah embel-embel 'ilmu informasi' di belakangnya. Misalnya di Kanada ada School of Library, Archives and Information Science di Universitas British Columbia. Di Australia ada School of Information and Management Sytems Monash University, yang di dalamnya juga menyelenggarakan jurusan kearsipan dan perpustakaan. Di Indonesia juga demikian. UI Jakarta, misalnya, dalam Program S2-nya juga ada embel-embel 'ilmu informasi', yakni Jurusan Ilmu Perpustakaan, Informasi dan Kearsipan.Oleh karena itu, disiplin Ilmu Perpustakaan (dan Arsip tentunya), dan Informasi (IPI) atau dalam bahasa Inggrisnya Library and Information Science (LIS) merupakan ilmu baru, atau, meminjam istilahnya Putu Laxman Pendit (2003:16), merupakan emerging science.


Dalam tulisan ini, saya tidak akan membicarakan semua disiplin ilmu seperti yang tersebut di atas yang terkait dengan ilmu informasi. Namun, hanya akan mengaitkannya dengan ilmu kearsipan. Mengapa demikian? Di antara disiplin ilmu yang mengkaji informasi, satu-satunya disiplin ilmu yang memiliki keunikan adalah ilmu kearsipan. Informasi yang menjadi kajian dalam ilmu perpustakaan adalah informasi yang bersifat diskrit, sementara dalam kearsipan informasinya bersifat continue (Sulistyo-Basuki, 2003). Oleh karena itu, suatu informasi dikatakan arsip bila memiliki tiga unsur, yakni struktur, isi, dan konteks. Oleh karena itu, dalam mendiskripsikan materi suatu arsip tidak boleh dilakukan secara item-per item layaknya mendeskrispikan bahan pustaka. Namun, dalam mendeskripsikan arsip harus bersifat fungsional dan melihat konteksnya yang lebih luas. Begitu juga dalam melakukan penilaian (appraisal) arsip, arsiparis tidak bisa hanya mendasarkan pada item atau format arsip itu sendiri, tetapi harus melihat konteks penciptaannya serta keterkaitan dengan arsip-arsip lainnya dan kebutuhan di luar penciptanya, seperti untuk para sejarawan dan peneliti. Dengan demikian, muncul pertanyaan, bagaimana seorang arsiparis melakukan pendekatan dalam menilai arsip, khususnya arsip elektronik yang bersifat virtual? Informasi dalam konteks yang seperti apa yang seharusnya menjadi perhatian seorang arsiparis dalam menilai arsip? Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengaitkan antara teori informasi dan penilaian arsip.


Beberapa pendekatan teori informasi


Salah satu cara untuk melihat apa itu informasi adalah dengan melihatnya dari tiga perspektif jenis informasi, yakni informasi sintaksis, informasi semantik dan informasi pragmatik. Untuk memahami ketiga jenis informasi ini, seorang ilmuwan komputer dari Belanda, Jan van der Lubbe, menjelaskan dengan empat kalimat di bawah ini:



  1. John was brought to the railway
    station

  2. The taxi brought John to the railway station

  3. There is a traffic
    jam on highway A3 between Nuremberg and Munich in Germany

  4. There is a traffic
    jam on highway A3 in Germany


Pada kalimat pertama dan kedua di atas, secara sintaksis berbeda. Namun, secara semantik dan pragmatik keduanya identik. Keduanya bersifat informatif dan mengandung makna yang sama. Adapun kalimat ketiga dan keempat tidak hanya berbeda sintaksnya, namun juga semantiknya. Kalimat ketiga memberikan informasi lebih jelas daripada kalimat terakhir. Aspek pragmatik dalam informasi sangat bergantung pada konteksnya. Informasi yang terkandung dalam kalimat ketiga dan keempat di atas mungkin akan relevan bagi mereka yang tinggal di Jerman (Perhatikan kalimat di atas), tetapi tidak bagi orang yang tinggal di AS (Cambridge, 1997:1-2).


Teori-teori tentang informasi sintaksis kadang-kadang diacu sebagai teori informasi ala Amerika. Adapun tokoh yang dikenal sebagai penemu teori informasi adalah seorang insinyur Amerika, yakni Claude E. Shannon yang menerbitkan karyanya dengan judul A Mathematical Theory of
Communication
pada tahun 1948 (Shannon, 1949). Kontribusi terbesar pemikiran Shannon terhadap teori informasi saat ini adalah bahwa beliau mengasosiasikan informasi dengan ketidakpastian dengan menggunakan konsep peluang atau probabilitas. Teorinya Shannon secara sederhana menyatakan bahwa "informasi mengurangi ketidakpastian" atau bahwa "semakin banyak informasi, semakin berkuranglah ketidakpastian". Akan tetapi, Shannon menekankan bahwa muatan informasi tidak mengandung relevansi apapun dengan teori informasi. Pada tahun 1948, Shannon menulis bahwa aspek-aspek semantik komunikasi tersebut tidaklah relevan dengan permasalahan ilmu rekayasa (engineering problem) (Shannon, 1949).


Dalam ilmu komputer, permasalahan makna informasi juga menimbulkan perdebatan. Banyak pertanyaan yang timbul seputar apa itu sebenarnya informasi, lantas bagaimana untuk mengukur jumlah informasi serta batasan-batasan teoretis mengenai kompresi informasi tersebut. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar informasi ini, biasanya dengan menggunakan pendekatan informasi yang paling teknis. Kadang-kadang, ilmuwan bidang komputer mencoba membuat pembedaan antara makna teknis informasi sebagai "data" serta aspek lain dari informasi sebagaimana yang dikenal dengan "informasi", yang mengandung makna isi atau muatan informasi. Ilmu komputer itu sendiri telah berkembang secara besar-besaran sejak tahun 1948. Ada berbagai konsep ilmiah dari disiplin lainnya yang telah diimplementasikan dan dikembangkan bersama dengan ilmu komputer. Salah satu kajian yang menonjol dalam ilmu komputer adalah kajian mengenai kibernetika. Penerapan metode yang matematis banyak digunakan untuk memecahkan masalah sistem elektronik. Konsep sistem sama pentingnya dengan ilmu komputer sebagaimana konsep informasi itu sendiri, menyatu menjadi sistem informasi. Dalam ilmu komputer, ada beberapa perspektif yang bersifat sangat fungsional, teknis, maupun user-driven.


Tradisi teori informasi ala Amerika terkadang juga mengacu tradisi teori informasi yang lain seperti tradisi ala Inggris. Yang perlu dicamkan di sini adalah bahwa masing-masing tradisi teori informasi tersebut hendaknya jangan dianggap sebagai satu-satunya teori informasi. Kita mestinya harus melihat pada perbedaan-perbedaan di antara teori-teori informasi semantik dan yang pragmatik.


Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Shannon, bahwa dalam teori informasinya, dia mengesampingkan aspek-aspek semantik sehingga membuat dua filsuf Rudolf Carnap dan Yehoshua Bar-Hillel menjadi penasaran. Oleh karena itu, atas inspirasi teorinya Shannon, pada tahun 1952, keduanya lalu membuat kerangka yang pertama kali mengenai sebuah teori informasi semantik tentang bagaimana mengukur makna informasi (informasi semantik) yang didasarkan pada fungsi probabilitas logika. Akan tetapi, kesimpulan dari kajian mereka adalah bahwa pengukuran informasi semantik "merupakan suatu konsep yang lebih dapat diterapkan pada psikologi serta investigasi lainnya daripada sebagai pelengkap bidang komunikasi" (Carnap & Bar-Hillel, 1952). Tradisi teori informasi ini secara turun-temurun banyak dikaitkan dengan disiplin seperti psikologi dan biologi.


Lantas, bagaimana dengan aspek informasi yang pragmatik? Dalam tradisi informasi pragmatik, sebenarnya sama halnya membicarakan efek informasi, serta ekonomi informasi. Efek informasi telah lama menjadi issu bagi penelitian oleh para ilmuwan informasi sejak awal tahun 1970an. Salah satu ilmuwan terkemuka pada saat itu adalah Aatto J. Repo, seorang periset dari Finlandia. "Berkah" yang paling utama di balik perkembangan teori-teori mengenai ekonomi informasi telah menjadikan pekerjaan perpustakaan menjadi lebih efektif serta adanya trend-trend pengenalan masyarakat kepada Manajemen Sumberdaya Informasi (Information Resources Management / IRM) dalam berbagai disiplin ekonomi bisnis (Repo, 1986).


Berbicara mengenai ekonomi informasi tidak bisa dilepaskan dengan produk informasi - pengetahuan dan manajemen pengetahuan. Perlu diketahui bahwa dalam informasi pragmatik yang menjadi mutu dari informasi adalah nilai informasi itu sendiri (value of information). Ciri dari nilai informasi tidak semata-mata dalam arti nilai pasar atau market (atau nilai praktis dan instrumental), tetapi juga nilai sosial (atau nilai filsafat, nilai intrinsik). Ada juga sebagian yang menyatakan bahwa nilai informasi tidak sekadar user-driven, tetapi juga producer-driven dalam konteks yang lebih luas (Repo, 1986:374).


Menurut para pakar ekonomi, nilai informasi hanya akan dapat dihargai dalam konteks manfaatnya bagi pengguna. Oleh karena itu, nilai informasi itu sama dengan konsep user-driven, bukan producer.


Konsep informasi dalam metodologi penilaian arsip


Apakah sebenarnya ada suatu konsep khusus mengenai informasi dan teori informasi dalam ilmu kearsipan serta metodologi penilaian arsip? Tentu saja tidak ada. Mengapa demikian? Konsep-konsep dasar dalam ilmu kearsipan jauh lebih dulu ada daripada konsep-konsep dalam teori informasi dari berbagai jenis. Salah satu dari sekian trend utama dalam perdebatan teoretis dalam komunitas arsip secara internasional selama dekade terakhir adalah usaha untuk mengidentifikasi perspektif arsip (archival perspective) dalam masyarakat informasi yang terus dan sedang berlangsung hingga saat ini, dengan menekankan pada issu yang paling penting mengenai identifikasi proses bisnis yang mendasar. Sebut saja misalnya, ada salah satu usaha untuk memecahkan issu kontemporer seputar problem yang dihadapai ilmu kearsipan menghadapi era informasi sekarang ini, yakni the InterPARES Project yang sangat concern atau getol mengkaji otentisitas arsip dinamis elektronik. Proyek ini dimotori oleh Dr. Luciana Duranti yang mendasarkan kajiannya pada ilmu diplomatika abad pertengahan dan dengan menggunakan pendekatan hukum Romawi, sehingga banyak kalangan yang mengatakan bahwa proyek ini merupakan proyek yang multidisipliner sekaligus ambisius (http://www.interpares.org).


Perkembangan ilmu kearsipan, sejak era klasik sampai era informasi dan komunikasi sekarang ini menggunakan berbagai tradisi ilmiahnya sendiri-sendiri, sejalan dengan konteks perkembangan sosial budaya negara setempat. Kita tahu bahwa tradisi kearsipan tiap-tiap negara tidaklah sama sehingga tidak ada model kearsipan yang bersifat universal. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau kearsipan melahirkan berbagai permasalahan seputar konsep dan istilah-istilah kearsipan. Contoh nyata yang masih dapat kita lihat adalah perbedaan istilah dokumen, records, archives, fonds, dsb. Menurut Håkan Lövblad, seorang pakar kearsipan dari Universitas Stokholm, ada tiga model pendekatan ilmiah kearsipan sejak era industri sampai era informasi sekarang ini, yakni tradisi positivistik, kibernetika (cybernetics), serta hermenetika. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu kearsipan merupakan disiplin yang multidisipliner.


Analisis Håkan Lövblad di atas menunjukkan bahwa perdebatan utama dalam ilmu kearsipan terutama pada masalah penilaian (appraisal) arsip. Tergantung tradisi negara setempat, apakah memilih tradisi positivistik, kibernetika, atau hermenetika. Tradisi positivistik merupakan tradisi yang telah lama berkembang, khususnya di Amerika Utara dengan tokoh sentralnya TR Schellenberg yang mengenalkan konsep daur hidup arsipnya (life cycle of records). Tradisi kiberetika dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut tradisi ini, penilaian arsip harus dibuat sejak penciptaan arsip itu sendiri (khususnya arsip dinamis elektronik). Adapun tradisi hermenetika, sebelum menjadi metode formal-ilmiah, dikenal sebagai kegiatan menerjemahkan dan mengartikan teks-teks atau kitab suci, terutama oleh kalangan gereja. Metode hermenetika dipakai ketika berbicara mengenai verstehen. Pandangan dasar hermenetika menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya meng-eksternalkan apa yang terjadi dalam proses internal pikirannya dengan jalan menciptakan artefak-artefak budaya yang punya ciri-ciri objektif atau ciri kebendaan. Proses mengeksternalkan apa yang internal untuk menjadi sebuah objek berciri kebendaan ini dikenal sebagai "objektifikasi" (Pendit, 2003:88).


Konsep penilaian arsip hingga kini masih menjadi perdebatan, lantas apakah mungkin kita menilai arsip dan menentukan nilai guna tertentu (primer atau sekunder) arsip tersebut semuanya?


Di Jerman dan Amerika Serikat barangkali mungkin saja. Dilihat dari tradisi teori informasinya, Amerika Serikat menggunakan perspektif functionalistic user-driven sehingga proses seleksi arsip merupakan salah satu kegiatan utama dalam teori dan praktek kearsipannya. Model penilaian arsip ala Amerika Serikat berasal dari idenya Theodore Schellenberg, sebagaimana yang dipaparkan dalam artikelnya tentang penilaian arsip yang diterbitkan pada tahun 1956. Ide-idenya TR Schellenberg ini telah begitu kuat mempengaruhi hampir semua arsiparis di seluruh dunia (Schellenberg, 1956).


Akan tetapi, tidak semua negara menerapkan penilaian arsip. Sebenarnya, dalam sejarah ilmu kearsipan sebelumnya tidak mengenal penilaian arsip. Ilmu kearsipan yang lahir di Eropa tumbuh dalam konstelasi sosial politik yang damai sehingga arsip banyak dikaitkan dengan kegiatan administrasi. Oleh karena itu, pengelolaan arsip betul-betul dalam pengawasan seorang administrator. Lain halnya di AS, di mana kearsipan (di AS tidak mengenal istilah ilmu kearsipan, tapi lebih memilih istilah administrasi/manajemen/studi arsip -- kalau di Indonesia barangkali cukup kearsipan) lahir dalam konstelasi politik yang genting karena dalam suasana Perang Dunia (PD) I dan PD II yang banyak terjadi "explosion of records" sehingga memaksa para pemikir untuk "mengurangi" ledakan arsip tersebut. Oleh karena itu, ide Schellenberg atas seleksi arsip pada saat itu oleh banyak kalangan dianggap sebagai gagasan yang smart. TR Schellenberg selanjutnya dikenal sebagai bapak penilaian arsip.


Lain Amerika lain Eropa (tetapi tidak semuanya). Kita ambil contoh di Swedia. Masyarakat arsip di Swedia tidak mengenal istilah penilaian arsip sehinggal istilah ini tidak akan kita jumpai dalam terminologi arsip nasionalnya. Proses seleksi arsip di Swedia secara turun-temurun bersifat sangat pragmatik, dengan menitikberatkan proses manajemen risiko atas arsip yang dapat dimusnahkan (disposable), bukan atas arsip yang bernilai guna permanen. Para arsiparis dan administrator negara bekerja sama dalam menyelidiki berbagai kemungkinan pemusnahan berkas atau seri arsip tertentu yang dianggap dapat dimusnahkan. Para arsiparis di Swedia, biasanya dipilih dari mereka yang telah menyandang doktor bidang sejarah, dianggap sebagai wakil periset masa depan, dalam menganalisis potensi-potensi riset mendatang yang ada pada seri-seri arsip tertentu.


Di Swedia, proses pembuatan keputusan mengenai seleksi arsip yang akan dimusnahkan telah dianggap sebagai proses yang sama sekali bebas dari proses akuisisi arsip. Di sana tidak ada sama sekali penilaian arsip pada saat akuisisi atau setelah proses akuisisi arsip. Keputusan pemusnahan arsip harusnya sudah dilakukan beberapa tahun sebelum akuisisi arsipnya, bahkan jauh sebelum penciptaan arsip-arsip tertentu.


Bagaimanapun juga, Swedia bukanlah negara yang unik karena tidak punya tradisi penilaian dalam ranah ilmu kearsipan (Kolsrud, 1992). Konsep penilaian itu sendiri telah dipertanyakan bahkan di kalangan tradisi Anglo-Saxon dan Jerman sendiri. Tokoh penentang dari Amerika yang berpengaruh, sekaligus seorang innovator,
David Bearman, secara terbuka mempertanyakan konsep penilaian. Dia mengatakan bahwa konsep nilai guna yang terkandung dalam arsip justru mengarah pada dampak yang merugikan, karena didasarkan pada analisis untung-rugi (cost-benefit analysis) (Bearman, 1989:16). Meskipun muncul banyak kritikan, konsep penilaian arsip tetap berjalan hingga kini. Bahkan proyek InterPARES benar-benar ingin mencari metode yang professional dan tidak parsial dalam menilai arsip sebagai motivasi utama dalam risetnya mengenai otentisitas arsip dinamis elektronik (Duranti, 1994:239-330).


Berawal dari konsep penilaian arsipnya Schellenberg, banyak perdebatan mengenai penilaian yang menitikberatkan pada identifikasi proses bisnis serta pentingnya konsep bukti (evidence) serta gagasan tentang nilai guna kebuktian (evidential value). Ada sejumlah perkembangan teoretis penting seputar konsep bukti dalam ilmu kearsipan selama tahun 1990-an. Dalam tradisi Anglo-Saxon seputar penilaian arsip, selain David Bearman juga ada arsiparis Jerman yang berpengaruh, yakni Dr. Angelika Menne-Haritz (Menne-Haritz, 1994:528-542). Ada sejumlah trend penting kearsipan mengenai penemuan ulang latar belakang teoretis yang mendasar seputar arsip selama tahun 1990-an.


Beberapa kemungkinan mengembangkan metodologi penilaian arsip


Di manakah letak konsep informasi dalam metodologi penilaian arsip modern?


Kita tahu bahwa "nilai guna informasional" sama pentingnya dengan "nilai guna kebuktian" sebagaimana yang diperkenalkan oleh Schellenberg dengan taksonomi nilai guna sekundernya. Konsep ini menyebabkan arsiparis cenderung mengabaikan pentingnya pendefinisian konsep informasi itu sendiri. Misalnya, banyak arsiparis yang menganggap seolah-olah nilai guna kebuktian tidak memiliki kaitan dengan informasi. Permasalahannya bukan pada "informasi" atau "bukan informasi" tetapi nilai guna kebuktian suatu informasi bertolak belakang dengan nilai guna faktual suatu informasi. Bahkan identifikasi arsip yang bernilai guna kebuktian tentu saja merupakan suatu jenis identifikasi arsip yang mengandung tipe informasi tertentu - informasi sebagai hasil proses bisnis dan pembuatan keputusan.


Nilai guna informasional ala Schellenberg, yakni informasi yang berisi fakta dan kandungannya, dilihat sebagai bagian proses penilaian yang harus arsiparis tanyakan kepada pihak di luar unit pencipta - para pengguna. Dr. Angelika Menne-Haritz
dan lainnya secara tegas menekankan semua ancaman yang menggantungkan berbagai trend dan ideologi terkini dalam masyarakat sekarang ini dalam menaksir nilai guna informasional (Menne-Haritz, 1994:528-542).


Barangkali dalam benak kita masih beranggapan bahwa penilaian arsip cukup kita serahkan kepada arsiparis dan kita tidak perlu menilai arsip sendiri menurut nilai guna faktual informasi. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, khususnya era informasi yang ingin mewujudkan masyarakat informasi, ilmu kearsipan sejak tahun 1990-an telah mengalami berbagai perkembangan. Paling tidak, ilmu kearsipan yang multidisipliner ini selama tahun 1990-an telah dipengaruhi juga oleh disiplin lain seperti ilmu Humaniora dan ilmu informasi. Masuknya disiplin lain ke dalam ilmu kearsipan ini sebaiknya mendapatkan perhatian tersendiri untuk memperkaya teori kearsipan yang fundamental sehingga teori kearsipan dapat dikembangkan dengan mengimplementasikan teori-teori dari ilmu informasi lainnya.


Paling tidak, ada tiga hal yang perlu kita kritisi berkenaan dengan hubungan teori informasi dengan penilaian arsip bila ilmu kearsipan ingin dikatakan sebagai multidisipliner dalam ranah masyarakat informasi sekarang ini. Ketiga hal itu antara lain:


1. Konsep penilaian (appraisal) itu sendiri. Permasalahan apakah kita sebaiknya menilai semua dokumen yang berkategori arsip membutuhkan sharing tersendiri antara ilmu kearsipan, ekonomi dan informatika. Apa hubungan antara pembedaan nilai guna primer dan sekunder ala Schellenberg dengan nilai guna informasi dalam konteks informatika serta teori nilai guna secara umum yang ada dalam ekonomi? Apakah penelitian dalam ilmu ekonomi mengenai berbagai kemungkinan untuk menentukan nilai guna informasional memiliki dampak tersendiri terhadap teori penilaian dalam konteks kearsipan? Bagaimana persepsi masyarakat terhadap arsip yang merupakan hasil samping proses bisnis dapat dianggap sama dengan nilai guna informasi dalam konteks ilmu ekonomi?


2. Arsip dan perpustakaan merupakan lembaga atau institusi memori yang berfungsi sebagai dokumentator kejadian di dunia ini. Oleh karena itu, arsip sangat terkait dengan pembentukan manajemen pengetahuan. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya mengadopsi dasar-dasar teori kearsipan dalam memecahkan persoalan seputar informasi.


Untuk mewujudkan masyarakat informasi, perlu ada jembatan antara ilmu kearsipan dengan ilmu-ilmu informasi lainnya sebagai bagian dari "knowledge management".


Perkembangan terkini dalam berbagai bidang cenderung lintas batas tanpa ada sekat-sekat berbagai disiplin lagi; Berbeda dengan era sebelumnya. Misal dalam bidang kearsipan, salah satu tradisi penilaian arsip ala Amerika adalah penilaian arsip sistematis yang mendasarkan pada isi (content-oriented appraisal) - terkenal dengan Strategi Dokumentasi pada tahun 1980-an. Tradisi ini pada saat itu belum mampu melihat disiplin lain, yang menganalisis arsip hanya dari sudut pandang isi saja, layaknya fisika, sehingga kehilangan pendekatan teoretisnya (Hackman & Warnow-Blewett, 1987:12-29).


Dalam ilmu perpustakaan dan informasi (biasa disingkat LIS), wacana tentang ciri multidisipliner masyarakat informasi telah menjadi trend tersendiri.
Misalnya, klasifikasi bahan pustaka mengenai ilmu sosial terdiri atas faset orang dan aktivitas. Logika perkembangan pemikiran ini adalah bahw akita dapat menentukan setiap konsep ke dalam semua semesta pengetahuan sebagai bagian dari entitas atau atribut.


Lalu, jenis aktivitas atau entitas apa saja yang didokumentasikan dalam bidang kearsipan? dan sejauh mana? serta jenis aktivitas atau kejadian apa saja yang tidak didokumentasikan dalam arsip, namun harus disokumentasikan sebagai bagian dari masyarakat informasi?


Dengan mengkaji berbagai kemungkinan untuk menerapkan teori klasifikasi berbasis pengetahuan dari ilmu perpustakaan dan informasi ke dalam ilmu kearsipan akan menghasilkan cara menganalisis pengetahuan seleksi arsip dan keputusan akuisisi. Begitu juga, kolaborasi antara ilmu perpustakaan dan ilmu kearsipan akan memperkaya pustakawan akan teori dasar kearsipan.


3. Hubungan multidisipliner yang paling mendasar, yakni antara ilmu kearsipan dengan ilmu komputer. Kita tidak dapat memungkiri bahwa, konsep-konsep ilmu komputer telah memonopoli dalam perkembangan masyarakat informasi. Oleh karena itu, istilah-istilah kearsipan yang sebenarnya telah ada jauh sebelum ada ilmu komputer menjadi kabur makna dan koknteksnya. misalnya istilah data, documents, records, archives dan information.


Bagi arsiparis, records dan archives tidak sekadar informasi, tetapi sesuatu yang bernilai guna tinggi; bukti proses bisnis, yang biasanya merupakan istilah yang menjadi perhatian para ilmuwan komputer. Kecenderungannya, para ilmuwan komputer lebih menekankan aspek ekonomi daripada ilmu kearsipan. Ilmuwan komputer lebih suka melakukan creation of records Akan tetapi, para arsiparis justru sibuk mempelajari ilmu komputer untuk memecahkan permasalah kearsipan (khususnya arsip dinamis elektronik).


Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengurangi gap antara ilmu komputer dengan ilmu kearsipan adalah mengembangkan lebih lanjut model dan teori untuk mencari solusi teknis penilaian arsip yang cost-efficient (seleksi/akuisisi), preservasi dan presentasi informasi elektronik yang bernilai arsip - electronic records. Contoh usaha ke arah ini antara lain seputar format metadata seperti XML/SGML.


* * *


Abad 21 merupakan era informasi yang didominasi dengan pernak-pernik ilmu kearsipan Masa awal abad ini ditandai dengan pengembangan metodologi penilaian arsip dinamis elektronik melalui kerjasama yang multidisipiner dengan disiplin masyarakat informasi lainnya.


Catatan:


Bearman, David. 1989. 'Archival Methods', Archives and Museum Informatics,Technical Report, 3


Carnap, Rudolf & Bar-Hillel, Yehoshua. 1952. 'An outline of a theory of semantic information', Massachussetts Institute of Technology, Reseach Laboratory of Electronics, Technical Report No 247, Oct. 27.



Duranti, Luciana. 1994. 'The Concept of Appraisal and Archival Theory', The American Archivist 57:2 (Spring 1994)



Hackman, Larry J. & Warnow-Blewett, Joan. 1987. 'The Documentation Strategy Process: A Model and a Case Study', The American Archivist 50:1 (Winter 1987)



J.C.A. van der Lubbe, Information Theory (Cambridge, 1997)


Kolsrud, Ole: 1992. 'The Evolution of Basic Appraisal Principles - Some Comparative Observations', The American Archivist 55:1 (Winter 1992)



Menne-Haritz, Angelika. 1994. 'Appraisal or Documentation: Can We Appraise Archives by Selecting Content?', The American Archivist 57:3 (Summer 1994)



Pendit, Putu Laxman (2003). Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Jakarta. JIP-FSUI


Repo, Aatto J. 1986. 'The dual approach to the value of information: An appraisal of use and exchange values', Information Processing & Management 22



Shannon, Claude E. 1949. The Mathematical Theory of Communication (University of Illinois Press, Urbana)



Sulistyo-Basuki (2003). Manajemen Arsip Dinamis: Pengantar Memahami dan Mengelola Informasi dan Dokumen. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.


 

8/28/08

Teori Penilaian Arsip



Dalam bidang kearsipan, dikenal istilah daur hidup arsip dinamis (life cycle of records). Menurut model ini, arsip dinamis dianggap sebagai entitas fisik dan organik yang hidup, tumbuh dan terus berkembang seirama dengan tata kehidupan masyarakat maupun tata kelola pemerintahan. Dalam perundang-undangan kearsipan kita, Undang-Undang No 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, dijelaskan bahwa fungsi arsip ada dua yakni arsip dinamis dan statis. Bila dikaji pembedaan fungsi arsip ini, tampak bahwa hal ini dipengaruhi oleh ide-ide kearsipan dari T.R. Schellenberg, pemikir ulung kearsipan dari Amerika, dengan modelnya yang terkenal, life cycle of records. Model ini menekankan penentuan nilai guna yang ada pada records, yakni nilai guna primer dan sekunder, dan nilai guna sekunder masih dibagi lagi menjadi nilai guna kebuktian dan informasional. Dalam metodologi ini, Schellenberg menekankan secara khusus akan tanggung jawab arsiparis untuk melakukan penilaian arsip dinamis yang bernilai sekunder, nilai guna riset, sehingga pembedaan antara arsip dinamis (records) dan arsip statis (archives) semakin jelas. Menurut Schellenberg (1956), archives adalah "those records of any public or private institution which are adjudged worthy of permanent preservation for reference and secondary pusposes". Bagi arsiparis, pencarian nilai guna riset merupakan kegiatan sentral dalam proses penilaian. Dalam artikel ini, akan saya ulas tentang penilaian arsip.


Penilaian merupakan suatu proses yang biasanya dilakukan oleh suatu anggota atau tim dari lembaga kearsipan (arsiparis) untuk menentukan arsip dinamis mana yang perlu disimpan dan berapa lama. Biasanya terlebih dahulu dibuatkan jadwal retensi arsip dinamis. Pembuatan jadwal retensi arsip dinamis memerlukan penalaran, visi yang luas, kajian mendalam atas berbagai nilai kegunaan arsip dinamis (Sulistyo Basuki, 2003: 310). Beberapa pertimbangan yang perlu diambil dalam penilaian antara lain, bagaimana memenuhi kebutuhan organisasi, bagaimana menopang syarat-syarat akuntabilitas organisasi (baik hukum, kelembagaan, maupun ditentukan oleh etika kearsipan), serta bagaimana memenuhi harapan-harapan masyarakat pengguna arsip.


Penilaian dianggap sebagai suatu fungsi kearsipan inti (di samping akuisisi, penataan dan deskripsi, preservasi, referensi, serta akses). The Society of American Archivists mendefinisikan penilaian sebagai berikut:



“In an archival context, appraisal is the process of determining whether records and other materials have permanent (archival) value. Appraisal may be done at the collection, creator, series, file, or item level. Appraisal can take place prior to donation and prior to physical transfer, at or after accessioning. The basis of appraisal decisions may include a number of factors, including the records' provenance and content, their authenticity and reliability, their order and completeness, their condition and costs to preserve them, and their intrinsic value. Appraisal often takes place within a larger institutional collecting policy and mission statement.”



Pemikiran Jenkinson dan Schellenberg


Teori dan praktek kearsipan tidak ada yang pakem serta standar yang sama dalam tiap-tiap negara. Kearsipan biasanya menubuh dalam konteks situasi sosial politik masing-masing negara. Sejak dipublikasikannya karya Trio Belanda, Muller, Feith dan Fruin pada tahun 1898, interpretasi makna archief menimbulkan perdebatan sampai sekarang. Di sebagain daratan eropa, makna arsip biasanya meliputi baik arsip dinamis maupun statis. Lain halnya di Amerika, di sana ada pembedaan antara arsip dinamis (records) dan arsip statis (archives). Perbedaan dua kultur ini selanjutnya menimbulkan perbedaan teori dan praktek kearsipan antara Eropa dan Amerika.


Sir Hilary Jenkinson, 1922


Sir Hilary Jenkinson pernah menjadi Deputy Keeper of the Public Record Office di Inggris selama awal abad XX. Karya beliau yang terkenal adalah bukunya yang berjudul Manual of Archive Administration. Dalam karyanya, Jenkinson mendefinisikan archives sebagai “documents which formed part of an official transaction and were preserved for official reference.” Menurut Jenkinson, pencipta arsip dinamis (records creator) bertanggung jawab untuk menentukan arsip dinamis mana yang seharusnya ditransfer ke arsip (depo arsip statis) untuk dipreservasi. Hal ini dikarenakan, menurut Jenkinson, arsip itu bersifat "impartial", tidak memihak, sehingga tugas menyeleksi arsip hanya masalah pemilihan dokumen-dokumen yang menggambarkan "apa yang telah terjadi", "what happened".


T. R. Schellenberg, 1956


Ide-ide T. R. Schellenberg dalam karyanya yang sangat terkenal, Modern Archives yang diterbitkan pada tahun 1956, dianggap sebagai antitesis pendekatan Jenkinson, khususnya dengan adanya konteks yang berbeda dengan kondisi sosial politik yang dialami Jenkinson. Schellenberg mengemukakan pendapatnya dalam kondisi Perang Dunia I dan II, yang pada waktu itu terjadi "mountain of paper records", menggunungya arsip-arsip kertas yang disimpan di arsip. Usaha Schellenberg pertama kali adalah bagaimana menentukan berbagai dokumen yang layak disimpan di arsip karena tidak mungkin menyimpan semua dokumen tersebut. Menurutnya harus ada seleksi untuk menilai dokumen-dokumen yang dikategorikan archives. Dalam bukunya, Schellenberg membagi nilai guna arsip dinamis menjadi dua, yakni nilai guna primer (nilai guna asli untuk unit pencipta untuk kebutuhan administratif, keuangan, dan operasional) dan nilai guna sekunder (nilai guna keberlanjutan setelah tidak dipergunakan oleh unit pencipta, nilai guna sekunder ditujukan untuk publik, di luar unit pencipta). Nilai guna sekunder masih dibagi lagi menjadi nilai guna kebuktian dan informasional. Beliau mendefinisikan nilai guna kebuktian bahwa "evidence records contain of the organization and functioning of the Government body that produced them," sementara nilai guna informasional adalah informasi yang ada pada arsip yang berisi tentang person, badan korporasi, berbagai hal, permasalahan, kondisi, dan semacamnya yang berkenaan dengan badan pemerintahan. Selanjutnya Schellenberg merinci cara menilai arsip yang didasarkan dua kategorisasi nilai guna tersebut seperti di bawah ini:


Menurut Schellenberg, nilai guna informasional didasarkan atas tiga kriteria:



  • Uniqueness: Informasi yang ada dalam arsip tidak ditemukan dalam rekaman informasi lainnya, sehingga bentuknya memang unik (misalnya, bukan hasil duplikasi),

  • Form: Seorang arsiparis haruslah mempertimbangkan bentuk informasinya (sejauh mana esensi tingkat informasinya tersirat) serta bentuk arsip itu sendiri (apakah ia dapat dengan mudah dibaca atau tidak oleh orang lain, misalnya arsip dalam bentuk punchcards, dan rekaman pita akan memerlukan alat bantu baca khusus), serta

  • Importance: Ketika melakukan penilaian, seorang arsiparis pertama kali harus mempertimbagkan kebutuhan pemerintah itu sendiri, lalu kebutuhan para sejarawan/peneliti, maupun genealogists.


Beberapa Model Pendekatan Penilaian Kontemporer


Penilaian Makro (Macro-appraisal)


Menurut Terry Cook, teori penilaian Amerika Utara bersifat tidak terrencana, taksonomis, random serta terfragmentasi, dan jarang mencerminkan konsep-konsep dinamika lembaga serta masyarakat yang mampu mengarahkan para arsiparis terhadap suatu model kerja yang memungkinkan mereka melakukan penilaian dalam skala yang lebih luas dari pengalaman manusia.


Model pendekatannya bersifat top-down, yang menekankan pada proses utama, bagaimana suatu fungsi tertentu itu dinyatakan dengan saling mengaitkan dengan struktur dan individu.


Model ini memerlukan suatu pendekatan yang logis, terrencana -- para arsiparis yang dilibatkan dalam penilaian perlu dibekali dengan suatu pemahaman terhadap pencipta arsip dinamis, tugas pokoknya dan fungsinya, strukturnya dan proses pembuatan keputusan, cara arsip dinamis tercipta, serta berbagai perubahan proses-proses ini sepanjang waktu.


Kelebihan proses ini adalah bersifat teoretis dan praktis. Teoretis maksudnya mengidentifikasi fungsi-fungsi yang penting dalam masyarakat yang sebaiknya didokumentasikan), sementara praktis dalam arti ada kemampuan untuk menitikberatkan kegiatan penilaian arsip terhadap yang paling potensial bernilai guna kearsipan).


Strategi Dokumentasi


Bila dikaitkan dengan tulisannya Helen Samuels, strategi dokumentasi bertujuan menjangkau lintas kerangka kerja kelembagaan ketika dilakukan penilaian berbagai koleksi. Dia mengatakan bahwa para arsiparis bersikap pasif, lebih menekankan pada kebutuhan para peneliti daripada memahami konteks dokumen itu sendiri. Hal ini menyebabkan suatu permasalahan yang tak berujung, karena para peneliti menyatakan bahwa kebutuhan mereka didasarkan pada konteks yang mereka deduksikan dari arsip, dan karena arsip sendiri membuat konteks artifisial yang didasarkan pada berbagai kebutuhan yang dinyatakan oleh para peneliti. “Archivists are challenged to select a lasting record,” Kata Samuels , “but they lack techniques to support this decision making” (1992). Samuels berpendapat bahwa di kala para arsiparis dituntut untuk tahu dan mengerti struktur birokrasi organisasi yang teramat kompleks, kini mereka harus mengerti berbagai struktur antara organisasi dan mengabaikan batas-batas kelembagaan.


Akan tetapi, tampaknya hal ini tidaklah mungkin; para arsiparis perlu mengkaji dokumentasi secara komprehensif. Oleh karena itu, strategi dokumentasi merupakan "suatu rencana yang dirumuskan untuk menjamin adanya dokumentasi dari sebuah issu yang sedang terjadi, aktivitas atau area geografis". Perkembangannya mencakup para pencipta arsip dinamis, arsiparis, dan pengguna, dan dilakukan melalui sebuah sistem pemahaman yang luas sepanjang daur hidup arsip dinamis.


Antara Dua Teori Penilaian Arsip: Cook dan Duranti


Terry Cook (1992) telah membuat sebuah kerangka konseptual berupa tools yang banyak digunakan para arsiparis dalam kegiatan penciptaan arsip dinamis. Tools ini membantu para arsiparis untuk menganalisis fungsi dan institusi publik dalam hal penilaian. Penilaian dilakukan untuk menentukan kegiatan institusi mana saja yang menciptakan arsip dinamis sehingga memberikan citra publik yang sebenarnya. Arsip-arsip dinamis tersebut selanjutnya dipreservasi/disimpan permanen di arsip untuk tujuan referensi generasi yang akan datang dengan sebuah citra publik tanpa harus dicitrakan oleh unit pencipta arsip tersebut. Cook “menggeser fokus penilaian dari arsip ke dalam konteks masyarakat ketika arsip tersebut tercipta" (hlm. 46). Dengan demikian, kegiatan penilaian terletak di luar dan melampaui insitusi-institusi masyarakat lembaga pencipta arsip.


Keberadaan arsip berfungsi untuk memberikan bukti kepada generasi yang akan datang mengenai gambaran masyarakat yang sebenarnya karena bukti tertulis berupa rekod merupakan kegiatan abadi berbagai lembaga masyarakat. Dengan menyediakan berbagai bukti bahwa kegiatan-kegiatan tersebut telah terjadi, arsip-arsip dinamis tersebut menciptakan sebuah citra (image) masyarakat yang permanen dan harus dipreservasi untuk generasi mendatang. Karena perkembangan mula-mula dan tujuan asli dari berbagai lembaga penulisan adalah untuk menata dan merekam kegiatan masyarakat, dan juga karena makna asli dari rekod/arsip dinamis/records adalah rekaman aktivitas masyarakat maka akumulasi dari keseluruhan badan arsip dinamis adalah untuk menyediakan suatu citra masyarakat yang sebenarnya sebagai suatu keseluruhan/totalitas. Oleh karena itu, berbagai aktivitas yang ditulis untuk digunakan sebagai bukti kejadiannya, menurut arsiparis tradisional, harus disimpan. Menurut teori kearsipan tradisional, definisi arsip statis (archives) adalah keseluruhan rekod/arsip dinamis/records dan harus dipreservasi sebagai suatu keseluruhan/satu kesatuan. Jenkinson (1984) menyarankan bahwa arsip statis merupakan keseluruhan dari arsip dinamis yang dihasilkan oleh kegiatan organisasi atau lembaga, dan bahwa peran arsiparis adalah memberikan keberlanjutan pemeliharaan arsip-arsip dinamis tersebut tanpa terputus (terhadap unit pencipta lainnya).


Cook (1992) menyikapi adanya peran tradisional para arsiparis, yakni tanggung jawab pemeliharaan (custody) terhadap keseluruhan tubuh arsip dinamis, karena adanya ciri ciri tata arsip dinamis sekarang ini (hlm. 40). Oleh karena itu, semakin banyak arsip dinamis yang tercipta, semakin tidak mungkin untuk menyimpan semua arsip-arsip dinamis dari berbagai fungsi dan struktur masyarakat, seperti yang dilakukan oleh arsip tradisional masa lalu. Menurut Cook, pendekatan preservasi dengan tujuan untuk sekedar menyimpan tubuh arsip-arsip dinamis tidaklah mungkin dilakukan pada era arsip dinamis elektronik sekarang ini (hlm. 3). Para arsiparis berada pada posisi untuk membuat keputusan nilai guna arsip dinamis karena dapat memutuskan merits saving. Menurut teorinya Cook, the role of the archivist is
not to impartially preserve of the whole of the records, but includes appraisal with the goal of

finding those “hot spots” where the image of society is the most “direct”
(Cook, p. 58).


Menurutnya, daripada menilai arsip dinamis itu sendiri, Cook (1992) menyarankan bahwa para arsiparis sebaiknya menilai konteks ketika arsip dinamis tersebut tercipta (hlm. 46). Arsip-arsip dinamis yang tercipta dalam konteks yang mencakup banyaknya unsur masyarakat dapat memberikan lebih banyak bukti dan suatu citra masyarakat yang lebih baik untuk generasi mendatang. Tujuannya adalah untuk menyimpan permanen berbagai citra karakteristik masyarakat yang paling penting, ...berbagai bentuk dan pola pengetahuan ala Taylor (Cook, hlm. 51). Arsiparis menganalisis fungsi-fungsi masyarakat untuk memperhitungkan bagaimana fungsi-fungsi ini dijalankan oleh struktur masyarakat. Cook menyebut pendekatannya penilaian-makro (macro-appraisal) karena fokus analisisnya ada pada masyarakat sebagai suatu keseluruhan dan bukan pada arsip dinamis individual itu sendiri atau penilaian mikro (micro-appraisal).Dengan menekankan pada arsip dinamis itu sendiri, yakni atas dasar "materi", maka akan "terjadi kendala dalam realitas birokrasi modern" (Cook, hlm. 43).

Cook ingin para arsiparis menekankan pada "pikiran", "proses... yang digunakan oleh berbagai lembaga untuk mengartikulasikan...pikiran kolektifnya" (hlm. 42).


Dunia Platonis yang menyatukan pikiran dan materi ke dalam pikiran subjektif pencipta dan objek itu sendiri (materi)--dengan menekankan pada objek tersebut-- merupakan dikotominya Cartesian. Para filsuf postmodernis, seperti Foucault, menekankan ulang akan ilmu pengetahuan pada "pikiran di balik materi, kecerdasan di balik fakta, fungsi di balik struktur" (Cook, 1992, hlm. 44). Untuk menekankan pada pikiran daripada materi, para arsiparis mengutarakan pertanyaan: "Untuk apa adanya alasan dan ciri komunikasi antara rakyat dan pemerintah? Apa yang seharusnya didokumentasikan? Mengapa arsip-arsip dinamis tersebut tercipta pertama kali? Bagaimana digunakan oleh para pengguna aslinya? Fungsi-fungsi dan mandat apa saja yang mendukung mereka? Para pencipta arsip dinamis yang mana yang banyak memiliki kepentingan?" (Cook, hlm. 47). Cook ingin para arsiparis menganalisis "alasan-alasan dan ciri komunikasi antara rakyat dan pemerintah...[serta] fungsi-fungsi yang lebih luas dalam kegiatan perekaman ini dapat dilayani oleh pemerintah" (hlm. 47).


Pandangan Cook (1992) bukan berarti bahwa arsip melakukan preservasi citra masyarakat sebagai suatu snapshot dalam waktu, namun untuk mengakumulasikan lintas waktu, bukan dengan mempreservasi keseluruhan arsip dinamis, namun dengan suatu analisis fungsi suatu masyarakat dan lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi ini. Analisis tersebut selanjutnya akan menunjukkan arsiparis akan berbagai pengungkapannya, interaksi beban informasi atau hubungan antara berbagai fungsi dan lembaga masyarakat, serta individu yang saling berhubungan. Citra masyarakat yang sebenarnya tercermin dalam berbagai aktivitas atau kontak antara lembaga (struktur), individu (warga negara/rakyat-client), dan tujuan (fungsi) institusi yang didesain untuk dipenuhi. Arsiparis tersebut menempatkan lembaga-lembaganya menurut kapasitasnya "untuk menciptakan arsipdinamis bernilai secara global bukan terkait langsung ... dengan arsip dinamis individual (Cook, hlm. 53) untuk "menumpulkan seri arsip dinamis terbaiknya" (hlm. 52).


Bagian kedua modelnya Cook meliputi interaksi warga negara-negara. Interseksi ini meliputi tiga dimensi--fungsi, struktur, klien. Fungsi meliputi mores, tradisi, tujuan, yang melekat dan dibangun oleh suatu masyarakat yang menandai satu budaya dengan lainnya. Ini merupakan sebuah konsep abstrak yang dibuat konkrit melalui berbagai struktur. Contohnya adalah properti/kepemilikian pribadi, pernikahan/perceraian, ibadah, dan perdagangan. Struktur adalah institusi sosial yang menjalankan fungsi-fungsi tersebut. Struktur bisa berupa instansi pemerintah, universitas, rumah sakit, tempat ibadah, korporasi/bank, dan famili. "Struktur-struktur negara...mencerminkan fungsi kolektif masyarakat" (Cook, 1992, hlm. 50).


Para klien adalah warga negara, anggota, mahasiswa, pasien, pelanggan, individu, dan masyarakat secara umum. Oleh karena itu, arsip dinamis merupakan hasil dari interaksi antara ketiga komponen ini yang merupakan bukti interaksi ini. Arsip dinamis diciptakan bersama-sama oleh lembaga pencipta yang didasarkan atas tujuan-tujuan (fungsi) yang telah ditetapkan oleh berbagai lembaga tersebut yang arsip dinamisnya dipakai oleh para klien/warga negara ini. Contohnya: seorang warga negara yang menemui pejabat pembuat akta tanah/notaris untuk keperluan pengurusan sertifikat tanah; seorang nasabah yang pergi ke bank untuk menabung di bank (klien/struktur/fungsi).


Cook (1992) menekankan pentingnya "ciri interaksi warga negara dengan fungsi-fungsi dan struktur masyarakat" (hlm. 5). Cook sangat tertarik dalam lingkungan dengan menunjukkan "masukan langsung warga negara terhadap lembaga/instansi dengan mengungkapkan opini dan emosi dalam bahasa bebas...khususnya dalam...lingkungan tempat warga negara tersebut berinteraksi secara sadar dengan lembaga tersebut (struktur) serta program (fungsi) dan mempunyai pengaruh dalam pembuatan keputusan" (hlm. 57). Cook menyebut interaksi ini dengan "dialektika" (hlm. 52) dan tertarik dengan anomali atau distorsi antara tujuan lembaga/instansi dan hasil yang sebenarnya. Dia mengatakan bahwa arsip dinamis berkas kasus (case file records) bisa saja memiliki "nilai guna permanen" untuk menekankan citra yang paling jelas terhadap dialektika ini, yang potensial akan menjadi aktual bila opini dan aktivitas warga negara tercermin secara jujur dan tidak berpretensi (Cook, hlm. 57).


Teori penilaian-makro mensyaratkan tiga faktor--struktur, fungsi, klien--dikombinasikan dalam interaksi warga negara-pemerintah sehingga interaksi tersebut mendokumentasi masyarakat (Cook, 1992, hlm.
57). Di sini tanpak sekali adanya citra masyarakat. Cook juga mengatakan bahwa tidak semua interaksi yang tercermin dalam berkas-berkas kasus individu memiliki arti dan bahwa yang biasa-biasa saja dan rutin mungkin tidak mengandung nilai guna permanen (hlm. 57). Adanya citra yang kurang jelas disebabkan adanya perbedaan antara tujuan dan hasil dari institusi/lembaga, atau ketika fungsi masyarakat tersebut sudah teratur, seperti Holocaust, maka berkas-berkas kasus itu dapat bernilai guna permanen, yang dengannya dapat dijamin bila arsip dinamis tersebut mengungkapkan adanya opini dan aktivitas warga negara secara apa adanya dan tanpa distorsi
(Cook, hlm. 57). Cook tidak mengatakan, namun mengasumsikan, bahwa tinggal subjektivitas para arsiparislash untuk menjamin bahwa "opini-opini dan aktivitas warga negara tersebut objektif tanpa distorsi"
(hlm. 57).


Cook melihat nilai guna permanen dalam interaksi warga negara-negara di mana suara warga negara dapat didengar melalui ungkapan-ungkapan opini dan emosi yang tidak disengaja dalam bentuk bahasa bebas (hlm. 57). Dalam analisisnya, dokumen-dokumen yang menunjukkan adanya ketegangan antara opini warga negara dan posisi "pejabat" berpotensi untuk bernilai guna permanen.


Duranti tidak setuju dengan pendapat Cook. Duranti (1994) mengatakan bahwa pemberian atribut nilai guna pada arsip dengan menggunakan isi dan konteks sebagai dasar penentuan akan merusak “netralitas procedural dan formal dari keseluruhan arsip” (hlm. 336). Dalam hal ini, imparsialitas dan otentisitas arsip menjadi rusak/korup. Duranti menerima definisinya Jenkinson tentang arsip statis (archives) yang memiliki empat ciri: imparsialitas (kebenarannya melekat), otentisitas (tanggung jawab pemeliharaannya tidak putus/unbroken curtody), natural (arsip berakumulasi secara alami), dan kesalingterkaitan/interrelationship (masing-masing dokumen bersidat unik dan terkait dengan dokumen lainnya (hlm. 334-335).
Menurut Duranti (1994), ide pemberian atribut nilai guna pada arsip sangat bertentangan dengan keempat ciri arsip yang dikemukakan di atas (hlm. 336). Pada saat melakukan penyeleksian, sebagaimana rutinitas praktek kearsipan, tetap mempertahankan keterkaitan keseluruhan dari tiap-tiap bagian arsip dengan menekankan pada arsip, sementara penentuan nilai guna pada arsip untuk menyusutkan beberapa arsip akan menyebabkan keterkaitan keseluruhan dari bagian-bagian arsip (hlm. 336). Seleksi dan pemberian atribut nilai guna arsip merupakan tindakan yang tidak sama; seleksi menekankan pada penyingkiran duplikat dan item-item semacamnya, sementara pemberian atribut nilai guna merupakan tindakan eliminasi item-item karena alasan-alasan yang lain.

Jenkinson juga menyatakan bahwa para arsiparis sebaiknya tidak merusak dokumen-dokumen yang mereka anggap tidak berguna karena akan menjadi suatu pembenaran pribadi dan harus tidak memihak/imparsial (Duranti, 1994, hlm. 337). Duranti mengikuti tradisi yang dikemukakan oleh Jenkinson bahwa tugas utama arsiparis adalah menyimpan/mempreservasi ciri kebuktian arsip, yang terkenal dengan “moral defense of the archives” (hlm. 337). Duranti melihat adanya suatu konflik kepentingan antara “pencipta nilai guna arsip…dan pelindung bukti yang “menjamin bahwa arsip tersebut…dipreservasi secara otentik…”’ (hlm. 342). Para arsiparis akan merusak tanggung jawab utamanya “bila mereka tidak mencoba mempreservasi integritas arsip masyarakat, dengan karakteristiknya yang terpadu, dan dengan demikian bersifat tidak memihak…dan seobjektif mungkin” (Duranti, hlm. 343).
Menurut Duranti, arsiparis bukanlah sebagai documenters, interpreters, atau penentu kebenaran perbuatan masyarakat (1994, hlm. 343) karena tanggung jawab arsiparis adalah “suatu tanggung jawab untuk generasi mendatang dengan membiarkan mereka…munjustifikasi…masyarakat dengan dasar dokumen-dokumen yang dihasilkannya” (hlm. 343). Oleh karena itu, bukti transaksi lisan, masih menurut Duranti, sebaiknya tidak disimpan pada arsip. Tansaksi lisan merupakan interpretasi dan bukan sebagai bukti (evidence), barangkali karena transaksi lisan itu tidak dalam bentuk asli, meskipun suaranya asli, dari para creator. Rekaman sejarah lisan telah diinterpretasi (diedit) oleh mereka yang melakukan perekaman. Lantas, siapakah para pencipta itu, mereka yang bicara atau yang sedang merekam?


Modelnya Cook kadang-kadang kedengarannya seperti suatu interpretasi, suatu “interpretasi” teori kearsipan postmodernist yang kadang-kadang revolusioner. Cook memberikan atribut nilai guna, dan oleh sebab itu nilai guna permanent pada interaksi warga Negara-negara di mana warga Negara tersebut mempengaruhi Negara, sehingga Negara memodifikasi, mengubah, atau membelokkan tujuannya (hlm. 55). Interpretasi ini tidak sesuai dengan teori kearsipan tradisional yang diikuti oleh Duranti yang tidak setuju adanya penilaian atas arsip (hlm. 344). Bila penilaian sama dengan pemberian nilai guna, maka penilaian arsip tidak mempunyai tempat dalam ilmu kearsipan “karena ide adanya nilai guna bertentangan dengan ciri arsip” (Duranti, hlm. 344).


Referensi



  • Boles, Frank. (2005). Selecting and Appraising Archives & Manuscripts. Ottawa: Society of American Archivists.

  • Cook, T. (1992). Mind Over Matter: Towards a New Theory of Archival Appraisal, dalam B.L. Craig (Ed), The Archivist Imagination: Essays in Honour of Hugh A Taylor (hlm. 38-70). Ottawa: Association of Canadian Archivists.

  • Cook, T. (2005). "Macroappraisal in Theory and Practice: Origins,
    Characterisrics, and Implementation in Canada, 1950-2000".
    Archival Science 5:2-4. hlm.101-61.

  • Duranti, L. (1994). "The Concept of Appraisal and Archival Theory". American Archivist, 57(2), 328-344.

  • Jenkinson, H. (1984). Reflections of an Archivist, dalam M. Daniels & T. Walch (Eds), A
    Modern Archives Reader: Basic Reading on Archival Theory and Practice
    (hlm. 15-21). Washington, D.C.: National Archives and Records Serrvice.

  • Mason, Karen M. "Fostering Diversity in Archival Collections: The Iowa Women’s Archives", Collection Management; 27 (2) 2002, hlm. 23-32.

  • Samuels, Helen. "Improving Our Disposition: Documentation Strategies, Archivaria 33 (Winter 1991-92): 125-40.

  • Schellenberg, T.R. (1956). Modern Archives: Principles and Techniques. Chicago: University of Chicago Press.

  • Sulistyo-Basuki. (2003). Manajemen Arsip Dinamis: Pengantar Memahami dan Mengelola Informasi dan Dokumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

  • Undang-undang No 7 tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan.

     


     




 




5/28/08

What to Keep and What to Destroy

Penilaian arsip (appraisal) dalam manajemen arsip merupakan tahap yang sangat penting karena sangat menentukan efektivitas dan efisiensi jalannya roda organisasi, sehingga policy yang diambil oleh pimpinan dapat sesuai dengan yang diharapkan. Tidak jarang organisasi tidak melakukan penyelamatan arsip-arsip pentingnya sehingga lebih banyak kita melakukan pemusnahan arsip daripada penyelamatannya.

Di bawah ini adalah tips penilaian arsip, arsip apa yang harus disimpan dan mana yang harus dimusnahkan:
  1. Arsip-arsip dinamis apa saja yang sekiranya bernilai guna administrative, kebuktian atau informasional yang dimiliki oleh instansi kita?

    Apakah arsip-arsip dinamis tersebut diperlukan untuk administrasi organisasi atau untuk melindungi kepentingan hukum dan keuangan? Misalnya board minutes, statuta, kontrak merger. Apakah arsip-arsip dinamis tersebut mendokumentasikan event kesejarahan bagi organisasi? Misalnya foto-foto tentang peresmian gedung, dll.
  2. Apakah arsip-arsip dinamis tersebut mencerminkan tugas pokok organisasi (tupoksi) kita dan kebijakan akuisisi arsip?

    Beberapa arsip dinamis tertentu barangkali isinya menarik perhatian kita namun tidak kita simpan di unit kearsipan (records center). Apakah kita punya kewajiban untuk mengakuisisinya? Di sinilah pentingnya ada kebijakan yang komprehensif terhadap akuisisi arsip. Semua arsip dinamis yang ada di khasanah arsip kita (holdings) seharusnya mencerminkan mandat kita dan dibuat oleh atau berkenaan langsung dengan instansi kita.
  3. Apakah arsip-arsip dinamis tersebut primer dan unik?

    Arsip tidak menyimpan bahan-bahan publikasi seperti buku dan majalah (ini tugas perpustakaan), tetapi arsip dinamis primer. Pengecualian hanya pada item-item seperti laporan tahunan, laporan keuangan dan newsletters (tapi jarang sekali) di mana satu kopi/salinan disimpan untuk tujuan arsip meskipun yang asli dibuat dalam jumlah banyak. Tipe arsip dinamis ini harus bersifat unik. Buku atau album foto aktivitas dan fungsi bisa kita anggap sebagai arsip, tetapi bila klipingnya tidak memungkinkan untuk dikelola atau dianotasi.
  4. Apakah informasi yang ada dalam arsip-arsip dinamis tersebut duplikasi di sejumlah arsip dinamis lainnya?

    Misalnya, semua informasi keuangan diikhtisarkan dalam laporan keuangan, oleh karena itu tidak perlu menyimpan semua bill and receipts. Begitu juga, semua komite dalam sebuah organisasi menyimpan jenis dokumen yang sama. Tidaklah perlu menyimpan lebih dari satu kopi laporan bila laporan itu sudah disimpan pada seri arsip lainnya.
  5. Dapatkah arsip-arsip dinamis tersebut dipreservasi dengan baik?

    Kadang-kadang arsip-arsip dinamis yang dikirim ke arsip dalam keadaan berantakan, tidak teratur, atau rusak. Apakah kita punya sumberdaya yang memadahi untuk melakukan konservasi dan preservasi sehingga arsip-arsip tersebut dapat digunakan? Misalnya, bentuk arsip menjadi melar.
  6. Apakah arsip-arsip dinamis tersebut tersedia?

    Akses terhadap arsip memang merupakan ciri demokratisasi dalam memperoleh informasi. Namun karena arsip bersifat unik, sebaiknya user dibatasi dalam menjangkau arsip aslinya.


Kesimpulan

Meskipun seringkali kita menghadapi kesulitan memencarkan arsip-arsip dinamis tertentu, namun perlu diperhatikan bahwa arsip merupakan suatub funsgi yang terus tumbuh dan berproses. Dengan konsisten pada kebijakan akuisisi, kita dapat memastikan pertumbuhan mendatang terhadap koleksi pelayanan yang lebih baik terhadap koleksi yang ada. Jangan sampai arsip hanya menjadi “tempat buangan” sampah administrasi semata, akan tetapi harus ada usaha perbaikan mutu arsip tersebut menjadi bernilai investasi dengan melakukan preservasi dan perawatan arsip.

Total Pageviews