1/5/09

Hubungan Ilmu Informasi dengan Penilaian Arsip

Versi file pdf


Pengantar


Konsep 'informasi' pada era saat ini banyak dijadikan komoditas oleh berbagai disiplin ilmu. Istilah 'informasi' tidak dapat didefinisikan secara final dan tidak ada kesepakatan para pakar, apa itu 'informasi'. Ada yang memaknai informasi dalam arti sempit, yakni serangkaian sinyal atau pesan. Ada juga yang mengartikan informasi sebagai proses kognitif dan kemampuan memahami pada diri manusia, serta ada yang memaknai informasi dalam arti paling luas, yakni selain dikaitkan dengan pesan dan poses kognitif, juga dikaitkan dengan konteks sosialnya, berupa situasi, persoalan, kaitan tugas, dan sebagainya (Pendit, 2003:13). Paling tidak, dalam disiplin akademik ada beberapa ilmu yang mengkaji tentang informasi yang paling banyak dikenal oleh kalangan akademis, yakni informatika, ilmu komputer, sistem informasi, ilmu perpustakaan serta ilmu kearsipan. Ilmu perpustakaan dan ilmu kearsipan sejatinya lebih dulu lahir dan mapan daripada ilmu informasi. Ilmu informasi lahir setelah Perang Dunia (PD) II dan munculnya "ledakan informasi". Seiring dengan perkembangan era informasi dan komunikasi selanjutnya, ilmu-ilmu yang tadinya sudah lahir lebih dulu, seperti ilmu perpustakaan dan ilmu kearsipan berusaha untuk tidak ketinggalan jaman, atau menyesuaikan kebutuhan pasar. Di beberapa negara maju seperti Amerika dan Australia, misalnya, banyak kita lihat universitas penyelenggara ilmu perpustakaan dan kearsipan yang menggabungkan istilah embel-embel 'ilmu informasi' di belakangnya. Misalnya di Kanada ada School of Library, Archives and Information Science di Universitas British Columbia. Di Australia ada School of Information and Management Sytems Monash University, yang di dalamnya juga menyelenggarakan jurusan kearsipan dan perpustakaan. Di Indonesia juga demikian. UI Jakarta, misalnya, dalam Program S2-nya juga ada embel-embel 'ilmu informasi', yakni Jurusan Ilmu Perpustakaan, Informasi dan Kearsipan.Oleh karena itu, disiplin Ilmu Perpustakaan (dan Arsip tentunya), dan Informasi (IPI) atau dalam bahasa Inggrisnya Library and Information Science (LIS) merupakan ilmu baru, atau, meminjam istilahnya Putu Laxman Pendit (2003:16), merupakan emerging science.


Dalam tulisan ini, saya tidak akan membicarakan semua disiplin ilmu seperti yang tersebut di atas yang terkait dengan ilmu informasi. Namun, hanya akan mengaitkannya dengan ilmu kearsipan. Mengapa demikian? Di antara disiplin ilmu yang mengkaji informasi, satu-satunya disiplin ilmu yang memiliki keunikan adalah ilmu kearsipan. Informasi yang menjadi kajian dalam ilmu perpustakaan adalah informasi yang bersifat diskrit, sementara dalam kearsipan informasinya bersifat continue (Sulistyo-Basuki, 2003). Oleh karena itu, suatu informasi dikatakan arsip bila memiliki tiga unsur, yakni struktur, isi, dan konteks. Oleh karena itu, dalam mendiskripsikan materi suatu arsip tidak boleh dilakukan secara item-per item layaknya mendeskrispikan bahan pustaka. Namun, dalam mendeskripsikan arsip harus bersifat fungsional dan melihat konteksnya yang lebih luas. Begitu juga dalam melakukan penilaian (appraisal) arsip, arsiparis tidak bisa hanya mendasarkan pada item atau format arsip itu sendiri, tetapi harus melihat konteks penciptaannya serta keterkaitan dengan arsip-arsip lainnya dan kebutuhan di luar penciptanya, seperti untuk para sejarawan dan peneliti. Dengan demikian, muncul pertanyaan, bagaimana seorang arsiparis melakukan pendekatan dalam menilai arsip, khususnya arsip elektronik yang bersifat virtual? Informasi dalam konteks yang seperti apa yang seharusnya menjadi perhatian seorang arsiparis dalam menilai arsip? Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengaitkan antara teori informasi dan penilaian arsip.


Beberapa pendekatan teori informasi


Salah satu cara untuk melihat apa itu informasi adalah dengan melihatnya dari tiga perspektif jenis informasi, yakni informasi sintaksis, informasi semantik dan informasi pragmatik. Untuk memahami ketiga jenis informasi ini, seorang ilmuwan komputer dari Belanda, Jan van der Lubbe, menjelaskan dengan empat kalimat di bawah ini:



  1. John was brought to the railway
    station

  2. The taxi brought John to the railway station

  3. There is a traffic
    jam on highway A3 between Nuremberg and Munich in Germany

  4. There is a traffic
    jam on highway A3 in Germany


Pada kalimat pertama dan kedua di atas, secara sintaksis berbeda. Namun, secara semantik dan pragmatik keduanya identik. Keduanya bersifat informatif dan mengandung makna yang sama. Adapun kalimat ketiga dan keempat tidak hanya berbeda sintaksnya, namun juga semantiknya. Kalimat ketiga memberikan informasi lebih jelas daripada kalimat terakhir. Aspek pragmatik dalam informasi sangat bergantung pada konteksnya. Informasi yang terkandung dalam kalimat ketiga dan keempat di atas mungkin akan relevan bagi mereka yang tinggal di Jerman (Perhatikan kalimat di atas), tetapi tidak bagi orang yang tinggal di AS (Cambridge, 1997:1-2).


Teori-teori tentang informasi sintaksis kadang-kadang diacu sebagai teori informasi ala Amerika. Adapun tokoh yang dikenal sebagai penemu teori informasi adalah seorang insinyur Amerika, yakni Claude E. Shannon yang menerbitkan karyanya dengan judul A Mathematical Theory of
Communication
pada tahun 1948 (Shannon, 1949). Kontribusi terbesar pemikiran Shannon terhadap teori informasi saat ini adalah bahwa beliau mengasosiasikan informasi dengan ketidakpastian dengan menggunakan konsep peluang atau probabilitas. Teorinya Shannon secara sederhana menyatakan bahwa "informasi mengurangi ketidakpastian" atau bahwa "semakin banyak informasi, semakin berkuranglah ketidakpastian". Akan tetapi, Shannon menekankan bahwa muatan informasi tidak mengandung relevansi apapun dengan teori informasi. Pada tahun 1948, Shannon menulis bahwa aspek-aspek semantik komunikasi tersebut tidaklah relevan dengan permasalahan ilmu rekayasa (engineering problem) (Shannon, 1949).


Dalam ilmu komputer, permasalahan makna informasi juga menimbulkan perdebatan. Banyak pertanyaan yang timbul seputar apa itu sebenarnya informasi, lantas bagaimana untuk mengukur jumlah informasi serta batasan-batasan teoretis mengenai kompresi informasi tersebut. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seputar informasi ini, biasanya dengan menggunakan pendekatan informasi yang paling teknis. Kadang-kadang, ilmuwan bidang komputer mencoba membuat pembedaan antara makna teknis informasi sebagai "data" serta aspek lain dari informasi sebagaimana yang dikenal dengan "informasi", yang mengandung makna isi atau muatan informasi. Ilmu komputer itu sendiri telah berkembang secara besar-besaran sejak tahun 1948. Ada berbagai konsep ilmiah dari disiplin lainnya yang telah diimplementasikan dan dikembangkan bersama dengan ilmu komputer. Salah satu kajian yang menonjol dalam ilmu komputer adalah kajian mengenai kibernetika. Penerapan metode yang matematis banyak digunakan untuk memecahkan masalah sistem elektronik. Konsep sistem sama pentingnya dengan ilmu komputer sebagaimana konsep informasi itu sendiri, menyatu menjadi sistem informasi. Dalam ilmu komputer, ada beberapa perspektif yang bersifat sangat fungsional, teknis, maupun user-driven.


Tradisi teori informasi ala Amerika terkadang juga mengacu tradisi teori informasi yang lain seperti tradisi ala Inggris. Yang perlu dicamkan di sini adalah bahwa masing-masing tradisi teori informasi tersebut hendaknya jangan dianggap sebagai satu-satunya teori informasi. Kita mestinya harus melihat pada perbedaan-perbedaan di antara teori-teori informasi semantik dan yang pragmatik.


Sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Shannon, bahwa dalam teori informasinya, dia mengesampingkan aspek-aspek semantik sehingga membuat dua filsuf Rudolf Carnap dan Yehoshua Bar-Hillel menjadi penasaran. Oleh karena itu, atas inspirasi teorinya Shannon, pada tahun 1952, keduanya lalu membuat kerangka yang pertama kali mengenai sebuah teori informasi semantik tentang bagaimana mengukur makna informasi (informasi semantik) yang didasarkan pada fungsi probabilitas logika. Akan tetapi, kesimpulan dari kajian mereka adalah bahwa pengukuran informasi semantik "merupakan suatu konsep yang lebih dapat diterapkan pada psikologi serta investigasi lainnya daripada sebagai pelengkap bidang komunikasi" (Carnap & Bar-Hillel, 1952). Tradisi teori informasi ini secara turun-temurun banyak dikaitkan dengan disiplin seperti psikologi dan biologi.


Lantas, bagaimana dengan aspek informasi yang pragmatik? Dalam tradisi informasi pragmatik, sebenarnya sama halnya membicarakan efek informasi, serta ekonomi informasi. Efek informasi telah lama menjadi issu bagi penelitian oleh para ilmuwan informasi sejak awal tahun 1970an. Salah satu ilmuwan terkemuka pada saat itu adalah Aatto J. Repo, seorang periset dari Finlandia. "Berkah" yang paling utama di balik perkembangan teori-teori mengenai ekonomi informasi telah menjadikan pekerjaan perpustakaan menjadi lebih efektif serta adanya trend-trend pengenalan masyarakat kepada Manajemen Sumberdaya Informasi (Information Resources Management / IRM) dalam berbagai disiplin ekonomi bisnis (Repo, 1986).


Berbicara mengenai ekonomi informasi tidak bisa dilepaskan dengan produk informasi - pengetahuan dan manajemen pengetahuan. Perlu diketahui bahwa dalam informasi pragmatik yang menjadi mutu dari informasi adalah nilai informasi itu sendiri (value of information). Ciri dari nilai informasi tidak semata-mata dalam arti nilai pasar atau market (atau nilai praktis dan instrumental), tetapi juga nilai sosial (atau nilai filsafat, nilai intrinsik). Ada juga sebagian yang menyatakan bahwa nilai informasi tidak sekadar user-driven, tetapi juga producer-driven dalam konteks yang lebih luas (Repo, 1986:374).


Menurut para pakar ekonomi, nilai informasi hanya akan dapat dihargai dalam konteks manfaatnya bagi pengguna. Oleh karena itu, nilai informasi itu sama dengan konsep user-driven, bukan producer.


Konsep informasi dalam metodologi penilaian arsip


Apakah sebenarnya ada suatu konsep khusus mengenai informasi dan teori informasi dalam ilmu kearsipan serta metodologi penilaian arsip? Tentu saja tidak ada. Mengapa demikian? Konsep-konsep dasar dalam ilmu kearsipan jauh lebih dulu ada daripada konsep-konsep dalam teori informasi dari berbagai jenis. Salah satu dari sekian trend utama dalam perdebatan teoretis dalam komunitas arsip secara internasional selama dekade terakhir adalah usaha untuk mengidentifikasi perspektif arsip (archival perspective) dalam masyarakat informasi yang terus dan sedang berlangsung hingga saat ini, dengan menekankan pada issu yang paling penting mengenai identifikasi proses bisnis yang mendasar. Sebut saja misalnya, ada salah satu usaha untuk memecahkan issu kontemporer seputar problem yang dihadapai ilmu kearsipan menghadapi era informasi sekarang ini, yakni the InterPARES Project yang sangat concern atau getol mengkaji otentisitas arsip dinamis elektronik. Proyek ini dimotori oleh Dr. Luciana Duranti yang mendasarkan kajiannya pada ilmu diplomatika abad pertengahan dan dengan menggunakan pendekatan hukum Romawi, sehingga banyak kalangan yang mengatakan bahwa proyek ini merupakan proyek yang multidisipliner sekaligus ambisius (http://www.interpares.org).


Perkembangan ilmu kearsipan, sejak era klasik sampai era informasi dan komunikasi sekarang ini menggunakan berbagai tradisi ilmiahnya sendiri-sendiri, sejalan dengan konteks perkembangan sosial budaya negara setempat. Kita tahu bahwa tradisi kearsipan tiap-tiap negara tidaklah sama sehingga tidak ada model kearsipan yang bersifat universal. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau kearsipan melahirkan berbagai permasalahan seputar konsep dan istilah-istilah kearsipan. Contoh nyata yang masih dapat kita lihat adalah perbedaan istilah dokumen, records, archives, fonds, dsb. Menurut Håkan Lövblad, seorang pakar kearsipan dari Universitas Stokholm, ada tiga model pendekatan ilmiah kearsipan sejak era industri sampai era informasi sekarang ini, yakni tradisi positivistik, kibernetika (cybernetics), serta hermenetika. Hal ini menunjukkan bahwa ilmu kearsipan merupakan disiplin yang multidisipliner.


Analisis Håkan Lövblad di atas menunjukkan bahwa perdebatan utama dalam ilmu kearsipan terutama pada masalah penilaian (appraisal) arsip. Tergantung tradisi negara setempat, apakah memilih tradisi positivistik, kibernetika, atau hermenetika. Tradisi positivistik merupakan tradisi yang telah lama berkembang, khususnya di Amerika Utara dengan tokoh sentralnya TR Schellenberg yang mengenalkan konsep daur hidup arsipnya (life cycle of records). Tradisi kiberetika dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Menurut tradisi ini, penilaian arsip harus dibuat sejak penciptaan arsip itu sendiri (khususnya arsip dinamis elektronik). Adapun tradisi hermenetika, sebelum menjadi metode formal-ilmiah, dikenal sebagai kegiatan menerjemahkan dan mengartikan teks-teks atau kitab suci, terutama oleh kalangan gereja. Metode hermenetika dipakai ketika berbicara mengenai verstehen. Pandangan dasar hermenetika menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang sepanjang hidupnya meng-eksternalkan apa yang terjadi dalam proses internal pikirannya dengan jalan menciptakan artefak-artefak budaya yang punya ciri-ciri objektif atau ciri kebendaan. Proses mengeksternalkan apa yang internal untuk menjadi sebuah objek berciri kebendaan ini dikenal sebagai "objektifikasi" (Pendit, 2003:88).


Konsep penilaian arsip hingga kini masih menjadi perdebatan, lantas apakah mungkin kita menilai arsip dan menentukan nilai guna tertentu (primer atau sekunder) arsip tersebut semuanya?


Di Jerman dan Amerika Serikat barangkali mungkin saja. Dilihat dari tradisi teori informasinya, Amerika Serikat menggunakan perspektif functionalistic user-driven sehingga proses seleksi arsip merupakan salah satu kegiatan utama dalam teori dan praktek kearsipannya. Model penilaian arsip ala Amerika Serikat berasal dari idenya Theodore Schellenberg, sebagaimana yang dipaparkan dalam artikelnya tentang penilaian arsip yang diterbitkan pada tahun 1956. Ide-idenya TR Schellenberg ini telah begitu kuat mempengaruhi hampir semua arsiparis di seluruh dunia (Schellenberg, 1956).


Akan tetapi, tidak semua negara menerapkan penilaian arsip. Sebenarnya, dalam sejarah ilmu kearsipan sebelumnya tidak mengenal penilaian arsip. Ilmu kearsipan yang lahir di Eropa tumbuh dalam konstelasi sosial politik yang damai sehingga arsip banyak dikaitkan dengan kegiatan administrasi. Oleh karena itu, pengelolaan arsip betul-betul dalam pengawasan seorang administrator. Lain halnya di AS, di mana kearsipan (di AS tidak mengenal istilah ilmu kearsipan, tapi lebih memilih istilah administrasi/manajemen/studi arsip -- kalau di Indonesia barangkali cukup kearsipan) lahir dalam konstelasi politik yang genting karena dalam suasana Perang Dunia (PD) I dan PD II yang banyak terjadi "explosion of records" sehingga memaksa para pemikir untuk "mengurangi" ledakan arsip tersebut. Oleh karena itu, ide Schellenberg atas seleksi arsip pada saat itu oleh banyak kalangan dianggap sebagai gagasan yang smart. TR Schellenberg selanjutnya dikenal sebagai bapak penilaian arsip.


Lain Amerika lain Eropa (tetapi tidak semuanya). Kita ambil contoh di Swedia. Masyarakat arsip di Swedia tidak mengenal istilah penilaian arsip sehinggal istilah ini tidak akan kita jumpai dalam terminologi arsip nasionalnya. Proses seleksi arsip di Swedia secara turun-temurun bersifat sangat pragmatik, dengan menitikberatkan proses manajemen risiko atas arsip yang dapat dimusnahkan (disposable), bukan atas arsip yang bernilai guna permanen. Para arsiparis dan administrator negara bekerja sama dalam menyelidiki berbagai kemungkinan pemusnahan berkas atau seri arsip tertentu yang dianggap dapat dimusnahkan. Para arsiparis di Swedia, biasanya dipilih dari mereka yang telah menyandang doktor bidang sejarah, dianggap sebagai wakil periset masa depan, dalam menganalisis potensi-potensi riset mendatang yang ada pada seri-seri arsip tertentu.


Di Swedia, proses pembuatan keputusan mengenai seleksi arsip yang akan dimusnahkan telah dianggap sebagai proses yang sama sekali bebas dari proses akuisisi arsip. Di sana tidak ada sama sekali penilaian arsip pada saat akuisisi atau setelah proses akuisisi arsip. Keputusan pemusnahan arsip harusnya sudah dilakukan beberapa tahun sebelum akuisisi arsipnya, bahkan jauh sebelum penciptaan arsip-arsip tertentu.


Bagaimanapun juga, Swedia bukanlah negara yang unik karena tidak punya tradisi penilaian dalam ranah ilmu kearsipan (Kolsrud, 1992). Konsep penilaian itu sendiri telah dipertanyakan bahkan di kalangan tradisi Anglo-Saxon dan Jerman sendiri. Tokoh penentang dari Amerika yang berpengaruh, sekaligus seorang innovator,
David Bearman, secara terbuka mempertanyakan konsep penilaian. Dia mengatakan bahwa konsep nilai guna yang terkandung dalam arsip justru mengarah pada dampak yang merugikan, karena didasarkan pada analisis untung-rugi (cost-benefit analysis) (Bearman, 1989:16). Meskipun muncul banyak kritikan, konsep penilaian arsip tetap berjalan hingga kini. Bahkan proyek InterPARES benar-benar ingin mencari metode yang professional dan tidak parsial dalam menilai arsip sebagai motivasi utama dalam risetnya mengenai otentisitas arsip dinamis elektronik (Duranti, 1994:239-330).


Berawal dari konsep penilaian arsipnya Schellenberg, banyak perdebatan mengenai penilaian yang menitikberatkan pada identifikasi proses bisnis serta pentingnya konsep bukti (evidence) serta gagasan tentang nilai guna kebuktian (evidential value). Ada sejumlah perkembangan teoretis penting seputar konsep bukti dalam ilmu kearsipan selama tahun 1990-an. Dalam tradisi Anglo-Saxon seputar penilaian arsip, selain David Bearman juga ada arsiparis Jerman yang berpengaruh, yakni Dr. Angelika Menne-Haritz (Menne-Haritz, 1994:528-542). Ada sejumlah trend penting kearsipan mengenai penemuan ulang latar belakang teoretis yang mendasar seputar arsip selama tahun 1990-an.


Beberapa kemungkinan mengembangkan metodologi penilaian arsip


Di manakah letak konsep informasi dalam metodologi penilaian arsip modern?


Kita tahu bahwa "nilai guna informasional" sama pentingnya dengan "nilai guna kebuktian" sebagaimana yang diperkenalkan oleh Schellenberg dengan taksonomi nilai guna sekundernya. Konsep ini menyebabkan arsiparis cenderung mengabaikan pentingnya pendefinisian konsep informasi itu sendiri. Misalnya, banyak arsiparis yang menganggap seolah-olah nilai guna kebuktian tidak memiliki kaitan dengan informasi. Permasalahannya bukan pada "informasi" atau "bukan informasi" tetapi nilai guna kebuktian suatu informasi bertolak belakang dengan nilai guna faktual suatu informasi. Bahkan identifikasi arsip yang bernilai guna kebuktian tentu saja merupakan suatu jenis identifikasi arsip yang mengandung tipe informasi tertentu - informasi sebagai hasil proses bisnis dan pembuatan keputusan.


Nilai guna informasional ala Schellenberg, yakni informasi yang berisi fakta dan kandungannya, dilihat sebagai bagian proses penilaian yang harus arsiparis tanyakan kepada pihak di luar unit pencipta - para pengguna. Dr. Angelika Menne-Haritz
dan lainnya secara tegas menekankan semua ancaman yang menggantungkan berbagai trend dan ideologi terkini dalam masyarakat sekarang ini dalam menaksir nilai guna informasional (Menne-Haritz, 1994:528-542).


Barangkali dalam benak kita masih beranggapan bahwa penilaian arsip cukup kita serahkan kepada arsiparis dan kita tidak perlu menilai arsip sendiri menurut nilai guna faktual informasi. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, khususnya era informasi yang ingin mewujudkan masyarakat informasi, ilmu kearsipan sejak tahun 1990-an telah mengalami berbagai perkembangan. Paling tidak, ilmu kearsipan yang multidisipliner ini selama tahun 1990-an telah dipengaruhi juga oleh disiplin lain seperti ilmu Humaniora dan ilmu informasi. Masuknya disiplin lain ke dalam ilmu kearsipan ini sebaiknya mendapatkan perhatian tersendiri untuk memperkaya teori kearsipan yang fundamental sehingga teori kearsipan dapat dikembangkan dengan mengimplementasikan teori-teori dari ilmu informasi lainnya.


Paling tidak, ada tiga hal yang perlu kita kritisi berkenaan dengan hubungan teori informasi dengan penilaian arsip bila ilmu kearsipan ingin dikatakan sebagai multidisipliner dalam ranah masyarakat informasi sekarang ini. Ketiga hal itu antara lain:


1. Konsep penilaian (appraisal) itu sendiri. Permasalahan apakah kita sebaiknya menilai semua dokumen yang berkategori arsip membutuhkan sharing tersendiri antara ilmu kearsipan, ekonomi dan informatika. Apa hubungan antara pembedaan nilai guna primer dan sekunder ala Schellenberg dengan nilai guna informasi dalam konteks informatika serta teori nilai guna secara umum yang ada dalam ekonomi? Apakah penelitian dalam ilmu ekonomi mengenai berbagai kemungkinan untuk menentukan nilai guna informasional memiliki dampak tersendiri terhadap teori penilaian dalam konteks kearsipan? Bagaimana persepsi masyarakat terhadap arsip yang merupakan hasil samping proses bisnis dapat dianggap sama dengan nilai guna informasi dalam konteks ilmu ekonomi?


2. Arsip dan perpustakaan merupakan lembaga atau institusi memori yang berfungsi sebagai dokumentator kejadian di dunia ini. Oleh karena itu, arsip sangat terkait dengan pembentukan manajemen pengetahuan. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang belum sadar akan pentingnya mengadopsi dasar-dasar teori kearsipan dalam memecahkan persoalan seputar informasi.


Untuk mewujudkan masyarakat informasi, perlu ada jembatan antara ilmu kearsipan dengan ilmu-ilmu informasi lainnya sebagai bagian dari "knowledge management".


Perkembangan terkini dalam berbagai bidang cenderung lintas batas tanpa ada sekat-sekat berbagai disiplin lagi; Berbeda dengan era sebelumnya. Misal dalam bidang kearsipan, salah satu tradisi penilaian arsip ala Amerika adalah penilaian arsip sistematis yang mendasarkan pada isi (content-oriented appraisal) - terkenal dengan Strategi Dokumentasi pada tahun 1980-an. Tradisi ini pada saat itu belum mampu melihat disiplin lain, yang menganalisis arsip hanya dari sudut pandang isi saja, layaknya fisika, sehingga kehilangan pendekatan teoretisnya (Hackman & Warnow-Blewett, 1987:12-29).


Dalam ilmu perpustakaan dan informasi (biasa disingkat LIS), wacana tentang ciri multidisipliner masyarakat informasi telah menjadi trend tersendiri.
Misalnya, klasifikasi bahan pustaka mengenai ilmu sosial terdiri atas faset orang dan aktivitas. Logika perkembangan pemikiran ini adalah bahw akita dapat menentukan setiap konsep ke dalam semua semesta pengetahuan sebagai bagian dari entitas atau atribut.


Lalu, jenis aktivitas atau entitas apa saja yang didokumentasikan dalam bidang kearsipan? dan sejauh mana? serta jenis aktivitas atau kejadian apa saja yang tidak didokumentasikan dalam arsip, namun harus disokumentasikan sebagai bagian dari masyarakat informasi?


Dengan mengkaji berbagai kemungkinan untuk menerapkan teori klasifikasi berbasis pengetahuan dari ilmu perpustakaan dan informasi ke dalam ilmu kearsipan akan menghasilkan cara menganalisis pengetahuan seleksi arsip dan keputusan akuisisi. Begitu juga, kolaborasi antara ilmu perpustakaan dan ilmu kearsipan akan memperkaya pustakawan akan teori dasar kearsipan.


3. Hubungan multidisipliner yang paling mendasar, yakni antara ilmu kearsipan dengan ilmu komputer. Kita tidak dapat memungkiri bahwa, konsep-konsep ilmu komputer telah memonopoli dalam perkembangan masyarakat informasi. Oleh karena itu, istilah-istilah kearsipan yang sebenarnya telah ada jauh sebelum ada ilmu komputer menjadi kabur makna dan koknteksnya. misalnya istilah data, documents, records, archives dan information.


Bagi arsiparis, records dan archives tidak sekadar informasi, tetapi sesuatu yang bernilai guna tinggi; bukti proses bisnis, yang biasanya merupakan istilah yang menjadi perhatian para ilmuwan komputer. Kecenderungannya, para ilmuwan komputer lebih menekankan aspek ekonomi daripada ilmu kearsipan. Ilmuwan komputer lebih suka melakukan creation of records Akan tetapi, para arsiparis justru sibuk mempelajari ilmu komputer untuk memecahkan permasalah kearsipan (khususnya arsip dinamis elektronik).


Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengurangi gap antara ilmu komputer dengan ilmu kearsipan adalah mengembangkan lebih lanjut model dan teori untuk mencari solusi teknis penilaian arsip yang cost-efficient (seleksi/akuisisi), preservasi dan presentasi informasi elektronik yang bernilai arsip - electronic records. Contoh usaha ke arah ini antara lain seputar format metadata seperti XML/SGML.


* * *


Abad 21 merupakan era informasi yang didominasi dengan pernak-pernik ilmu kearsipan Masa awal abad ini ditandai dengan pengembangan metodologi penilaian arsip dinamis elektronik melalui kerjasama yang multidisipiner dengan disiplin masyarakat informasi lainnya.


Catatan:


Bearman, David. 1989. 'Archival Methods', Archives and Museum Informatics,Technical Report, 3


Carnap, Rudolf & Bar-Hillel, Yehoshua. 1952. 'An outline of a theory of semantic information', Massachussetts Institute of Technology, Reseach Laboratory of Electronics, Technical Report No 247, Oct. 27.



Duranti, Luciana. 1994. 'The Concept of Appraisal and Archival Theory', The American Archivist 57:2 (Spring 1994)



Hackman, Larry J. & Warnow-Blewett, Joan. 1987. 'The Documentation Strategy Process: A Model and a Case Study', The American Archivist 50:1 (Winter 1987)



J.C.A. van der Lubbe, Information Theory (Cambridge, 1997)


Kolsrud, Ole: 1992. 'The Evolution of Basic Appraisal Principles - Some Comparative Observations', The American Archivist 55:1 (Winter 1992)



Menne-Haritz, Angelika. 1994. 'Appraisal or Documentation: Can We Appraise Archives by Selecting Content?', The American Archivist 57:3 (Summer 1994)



Pendit, Putu Laxman (2003). Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Jakarta. JIP-FSUI


Repo, Aatto J. 1986. 'The dual approach to the value of information: An appraisal of use and exchange values', Information Processing & Management 22



Shannon, Claude E. 1949. The Mathematical Theory of Communication (University of Illinois Press, Urbana)



Sulistyo-Basuki (2003). Manajemen Arsip Dinamis: Pengantar Memahami dan Mengelola Informasi dan Dokumen. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.


 

No comments:

Total Pageviews