Versi file pdf
Di tengah-tengah isu good governance, good corporate governance, maupun clean governance, akuntabilitas (accountability), dan transparansi adalah salah satu sasaran yang ingin dicapai. Akuntabilitas adalah kunci utama dari tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Akuntabilitas tersebut tidak dapat terwujud tanpa adanya transparansi dan penegakan hukum. Baik pemerintah, sektor publik, swasta, maupun lembaga masayarakat harus bertanggung jawab kepada publik (masyarakat umum) dan kepada para pemilik (stakeholders). Tanpa adanya informasi, tidak akan ada pembuatan keputusan, dan akuntabilitas; sementara salah satu sumber informasi yang paling vital adalah arsip – karena tidak semua informasi dikategorikan arsip. Arsip di sini khususnya arsip dinamis (records); dengan demikian tanpa adanya arsip (records), para pembuat keputusan tidak memiliki memori corporate sebagai acuan, dan tidak ada akuntabilitas terhadap keputusan yang diambil (World Bank, 2002a).
Ironisnya, kita yang konon dijajah Belanda selama 3,5 abad tidak mewarisi semangat atau jiwa archivistic yang dimiliki bangsa Belanda. Kita tahu bahwa Belanda terkenal dengan tertib kearsipannya, sehingga tak heran bila arsip zaman penjajahan Belanda masih tertata rapi di ANRI dan dapat diakses sampai sekarang. Tokoh – tokoh kearsipan dunia yang terkenalpun banyak yang berasal dari Belanda, seperti Muller, Feith, dan Fruin yang terkenal dengan karyanya, Handleiding voor het ordenen en bescchrijven van archieven van 1898 (Manual penataan dan pendeskripsian arsip (1898)). Manual Trio Belanda inilah yang selanjutnya dijadikan sebagai “Kitab Suci”, atau jiwa ilmu kearsipan hingga saat ini.
Lemahnya sistem kearsipan di negara kita bukan rahasia lagi. Dari contoh yang paling kecil, masih sering kita jumpai instansi yang kacau dalam menangani arsip-arsipnya sehingga sulit ditemukan, hilang atau lebih parah lagi sengaja dibuang atau dimusnahkan karena tidak adanya jadwal retensi arsip dinamis. Pemalsuan ijazah, dokumen imigrasi, dan kepabeanan juga contoh kecil yang sering kita lihat/dengar di berbagai media. Bahkan lemahnya sistem kearsipan berdampak pada rapuhnya jati diri bangsa karena sangat menghambat penegakan hukum. Tentu masih lekat dalam ingatan kita betapa sulitnya menuntut mantan Presiden Soeharto. Itu semua terjadi karena penuntutan itu tak didukung data arsip yang lengkap. Jadi, wajar-wajar saja bila Andi M Ghalib, Jaksa Agung, ketika itu selalu bertanya-tanya, mana arsipnya?
Kendala kearsipan
Di negara kita, lembaga resmi negara yang menangani kearsipan adalah Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Adapun salah satu misi ANRI adalah memberdayakan arsip sebagai tulang punggung manajemen pemerintahan dan pembangunan, sebagai bukti akuntabilitas kinerja aparatur, sebagai memori kolektif bangsa dan bahan pertanggungjawaban nasional. Secara ideal, misi ini equivalent dengan good governance, namun di lapangan banyak mengalami kendala.
Paradigma kearsipan kita
sebagian besar masyarakat kita, bahkan pemerintah sendiri masih menganggap arsip hanya sebagai tumpukan kertas yang berdebu, puing-puing masa lalu (relics of the past): ephemeral materials yang tidak perlu mendapatkan perhatian serius, bukan sebagai (evidence) hak dan kewajiban pemerintah atau warga negara. Lebih disayangkan lagi, seringkali dukungan organisasional dan finansial untuk program kearsipan sangat terbatas, khususnya untuk arsip dinamis aktif (current records). Lembaga kearsipan (ANRI, Arsip Provinsi/Kabupaten/Kota) di negara kita termarjinalkan, dengan terbatasnya sumberdaya, fasilitas fisik, dan infrastruktur yang kurang memadahi. Makna arsip sebagai bukti (evidence) dalam hal ini bukan terbatas bukti seperti dalam KUHP, dan UU No 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang menempatkan surat atau tulisan sebagai alat bukti. Akan tetapi, evidence ; informasi yang cenderung dapat membuktikan sebuah fakta, sebagai nilai pembuktian, bukti asal muasal badan korporasi/perorangan dan bagaimana aktivitas badan korporasi/perorangan berlangsung.
Reformasi sektor publik merupakan fenomena global. Reformasi tersebut tidak dapat berhasil tanpa ketersediaan arsip yang akurat dan andal, namun sayangnya kenyataan ini belum disadari sepenuhnya oleh kita. Sudah saatnya sudut pandang kita terhadap arsip berganti dari sudut pandang tradisional yang memandang arsip sebagai sejarah ke sudut pandang arsip modern yang memandang arsip sebagai bukti.
Tantangan bagi para arsiparis saat ini adalah meningkatnya penggunaan teknologi informasi. Banyak instansi pemerintah maupun swasta menjadikan fungsi utama organisasinya computerized dan menggunakan teknologi informasi agar lebih efisien. Namun mereka jarang melibatkan para ahli arsip tentang bagaimana menjamin bahwa proses otomasi tersebut bisa memproteksi bukti utama transaksi kegiatan organisasi tersebut, pencantuman metadata misalnya, karena dalam rekaman informasi elektronik dikatakan sebagai records bila punya 3 syarat yakni ada isi (contents), struktur, dan konteks. Ketiga unsur ini dalam dunia maya direpresentasikan dengan metadata. Sayangnya, perkembangan teknologi informasi banyak yang sekadar menghasilkan paket aplikasi sistem informasi / dokumen elektronik (electronic documents), bukan electronic records. Padahal keduanya berbeda, kalau dokumen elektronik biasanya hanya untuk efesiensi penciptaan, distribusi/diseminasi, manipulasi, dan temu kembali (retrieval), sedangkan yang membedakan dengan electronic records adalah evidence-nya, konteksnya sebagai bukti transaksi, yang diwakilkan dengan metadata. Inilah tantangan arsiparis era TI sekarang ini untuk berkolaborasi dengan ahli TI dalam memecahkan problem arsip elektronik.
Perlu diketahui bahwa paradigma kearsipan kita masih dipengaruhi konsepnya National Archives and Records Administration (NARA) Amerika, khususnya idenya T.R. Schellenberg. Schellenberg membedakan arsip dinamis (records) dan arsip statis (archives). Arsip dinamis (records) adalah arsip yang masih digunakan untuk pengambilan keputusan, sehingga masih bernilai guna primer dan disimpan di organisasi penciptanya. Pengelolanya disebut records managers. Sementara arsip statis (archives) adalah arsip yang sudah tidak dipergunakan untuk pengambilan keputusan bagi unit pencipta sehingga sudah bernilai guna sekunder, pengelolanya disebut archivist. Nilai guna sekunder arsip statis ini, oleh Schellenberg masih dibagi lagi menjadi nilai guna kebuktian (evidential value) dan informasional. Dalam hal inilah Schellenberg mengesampingkan “evidential value” yang dikaitkan dengan makna arsip sebagai “bukti” yang digagas oleh Sir Hilary Jenkinson (Terry Cook, 1997). Sir Hilary Jenkinson adalah pakar kearsipan Inggris yang disegani, yang memulai karirnya di Public Record Office di London tahun 1906. Jenkinson terkenal dengan idenya “archive group” yang menganggap arsip merupakan emanasi organik, apa adanya, tidak memihak, sehingga tidak perlu adanya penilaian arsip (appraisal). Di sinilah letak perbedaan kedua pakar kearsipan dunia ini yang kelak menyebabkan paradigma kearsipan Inggris dan Amerika. Bagi Schellenrberg, nilai guna kebuktian merujuk pada arsip statis (archives), bukan pada arsip dinamis (records) seperti yang digagas oleh Jenkinson. Sehingga yang membedakan pandangan kearsipan Inggris (Jenkinson) dan Amerika (Schellenberg) adalah dualisme objek rekaman informasi, yang mana Jenkinson lebih mementingkan administrator / records managers (records), sedangkan Scellenberg lebih mementingkan archivist (archives). Schellenberg merupakan pencetus “seleksi” arsip dengan idenya “daur hidup arsipnya” sehingga arsip perlu dinilai untuk menentukan “takdir” apakah dimusnahkan atau disimpan permanent (archive). Dalam mengembangkan seleksi atau kriteria penilaian ini, Schellenberg menjadi “bapak teori penilaian di Amerika Serikat”. Selain itu tampaknya Schellenberg mementingkan arsip statis (archives) untuk kepentingan sejarah sehingga menganggap archivist sebagai “subject matter specialist” layaknya pustakawan (Ham, 1956).
Lalu, kata “arsip” dalam nahasa Indonesia itu sendiri terjemahan dari “records” atau “archives”, atau “archief” ? Memang ada beberapa istilah untuk arsip (bahasa Indonesia), archief (Belanda), archives (Perancis), records (UK dan Australia), records & archives (Amerika Utara). Istilah arsip dinamis dan statis berasal dari konsep Belanda yaitu dynamisch archief dan statisch archief. Dengan semakin berpengaruhnya bahasa Inggris, banyak muncul istilah records dan archives. Records diterjemahkan dalam berbagai istilah, seperti rekod, rekor, cantuman, warkat, dan arsip dinamis. Sementara archives diterjemahkan menjadi arsip statis kadang-kadang disingkat arsip saja. Makna “archives”nya NARA inilah yang tampaknya mendominasi image kita tentang kearsipan, yakni sudut pandang sejarah, dan pengelolanya disebut archivist. Sementara dalam kearsipan kita, porsi pengelolaan records sedikit sekali yang mendapatkan perhatian, padahal records inilah yang sangat berhubungan langsung dengan terwujudnya misi kearsipan kita sebagai tulang punggung manajemen pemerintahan,serta bukti akuntabilitas kinerja aparatur.
Seiring dengan tuntutan reformasi sektor publik yang mengglobal ditambah dengan perkembangan teknologi informasi, konsep kearsipannya NARA yang dikotomis ini mulai ditinggalkan. Adalah Australia yang mempelopori adanya peleburan fungsi records dan archives menjadi records continuum sehingga tidak membedakan records managers dan archivist. Records menurut Australia mengacu baik arsip dinamis maupun statis. Konsep records continuum model ini oleh para pakar kearsipan dunia dianggap paling ideal karena mampu memecahkan problem arsip elektronik. Konsep records continuum yang dijabarkan dalam Standards Australia, AS4390-1996, Australian Standard: Records Management tersebut dijadikan sebagai landasan ISO 15489 yakni standar internasional bidang arsip dinamis.
Sebenarnya konsep records continuum memiliki persamaan dengan arsiparis Indonesia, karena arsiparis kita sebenarnya merupakan gabungan antara records managers & archivists. Namun ironisnya, arsiparis kita masih didominasi paradigma archives administration / archivistsnya NARA. Sehingga sampai sekarang lembaga kearsipan kita banyak yang condong menangani arsip statis. Meskipun ada yang menangani arsip dinamis, namun kebanyakan arsip dinamis inaktif. Akibatnya, arsiparis kita terkesan pasif, sebagai penjaga “puing-puing” masa lalu, pelayan sejarawan / peneliti atau istilah Taylor, historical shunt (Hugh Taylor, 1987). Dengan pendekatan baru records continuum, kini saatnya lembaga kearsipan ada di garda depan, bergerak dari archives ke records dan dari records ke system, dari non-aktif ke proaktif, dan dari back room ke front line. Arsiparis harus segera bangun dari basement ke boardroom. Pemerintah perlu mewujudkan pendekatan manajemen arsip, informasi, dan manajemen pengetahuan sebagai bagian dari transparansi dan akuntabilitas pada administrasi sektor publik.
Lemahnya legislasi kearsipan dan infrastruktur organisasi
undang-undang kearsipan kita, yakni Undang-Undang No 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan hanya mengatur arsip yang non-current dan historis. Undang-undang ini tidak memberikan wewenang ANRI berpartisipasi menangani arsip dinamis aktif atau dalam pengembangan sistem tata arsip dinamis (recordkeeping systems), yakni sistem informasi untuk memperoleh, memelihara, dan menyediakan akses terhadap arsip dinamis dalam bentuk informasi terekam (Sulistyo Basuki, 2003). Legislasi kearsipan yang kuat, dan efektif sangat diperlukan untuk memastikan bahwa arsip dinamis betul-betul dikelola sejak penciptaan, dan penggunaannya dalam organisasi sampai retensi akhir sebagai bukti tindakan dan keputusan.
Legislasi kearsipan tentunya tidak hanya yang mengatur arsip per se, namun juga yang terkait dengan arsip seperti undang-undang yang mengatur hak memperoleh informasi, privasi, hak cipta, kebuktian, administrasi keuangan, rahasia negara, statistic, e-commerce, dan Informasi dan Transaski Elektonik (ITE) yang sekarang sedang digodok.
Kesimpulan
Reformasi sektor publik yang menuntut terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) memiliki relasi saling ketergantungan dengan kearsipan. Arsip dinamis yang dikelola dengan baik, merupakan instrument untuk mencapai akuntabilitas, transparansi, dan trust; yakni sebagai bukti atas apa yang telah dicapai; sebagai sumber informasi otoritatif yang dapat digunakan untuk pembuatan keputusan dan delivery program dan pelayanan pemerintah. Lembaga kearsipan tidak hanya mengurusi arsip dinamis inaktif dan arsip statis saja, namun sudah saatnya mereformasi diri untuk banyak terlibat dalam mendesain sistem tata arsip dinamis aktif sehingga penciptaan, penggunaan, dan preservasi arsip terintegral menjadi kontinyuum informasi. Menurut McKemmish (1998, hlm 4) tata arsip dinamis yang terintegral dapat memfasilitasi governance, menopang akuntabilitas, membangun identitas, memori, serta menyediakan sumber informasi otoritatif yang bernilai tambah. Bagi arsiparis sendiri, bila hal ini dapat direalisasikan, peran arsiparis tidak lagi hanya sebagai “penjaga” artefak masa lalu, namun arsiparis sebagai:
• Pembuat keputusan tata arsip dinamis
• Standard setters
• Perancang strategi implementasi dan sistem tata arsip dinamis
• Konsultan
• Pendidik / pelatih
• Advokat
• Auditor (Sue McKemmish, 1997)
Oleh:
Suprayitno
No comments:
Post a Comment