7/14/08

Mengenal Encoded Archival Description (EAD)

Pengantar

Encoded Archival Description (EAD) adalah suatu standar internasional yang dipakai oleh berbagai lembaga memori seperti arsip dan perpustakaan manuskrip dalam encoding data untuk mendeskripsikan arsip-arsip suatu lembaga/instansi maupun personal papers. Selama ini, arsiparis lebih mengenal sarana pendeskripsian arsip secara tradisional yakni sarana temu kembali seperti guides, daftar arsip atau katalog. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, standar deskripsi arsip juga mengalami inovasi. EAD merupakan standar deskripsi arsip berbasis SGML, yang pertama kali dirilis pada tahun 1998 versi 1.0.  Versi pertama ini sudah dirancang kompatibel dengan XML. EAD terus diinovasi dan dikembangankan oleh para pakar, terutama oleh the Society of American Archivists dan Library of Congress Amerika Serikat. 


Arsip dan perpustakaan saling berbagi tanggung jawab dalam hal memori. Arsip berbeda dengan perpustakaan dalam hal sesuatu yang diingat. Perpustakaan mengumpulkan dokumen-dokumen yang sengaja dipublikasikan seperti misalnya buku dan majalah. Buku dan majalah tersebut  bukanlah koleksi yang bersifat unik. Kopian dari buku dan majalah tersebut dapat kita peroleh dari berbagai sumber. Di isi lain, arsip merupakan koleksi yang unik. Arsip merupakan hasil samping fungsi atau kegiatan setiap lembaga, baik pemerintah maupun swasta yang berjalan secara alami, tidak dikreasi secara artifisial, melainkan mengalir begitu saja tanpa disadari (unselfconscious byproducts). Semua arsip atau dokumen kearsipan yang diciptakan oleh satu badan, individu atau keluarga, dalam dunia kearsipan, disebut fonds. Menurut International Council of Archives (ICA) General International Standard Archival Description (ISAD(G), fonds adalah keseluruhan dokumen, apapun bentuk dan medianya, yang secara organik diciptakan dan atau diakumulasikan dan digunakan oleh individu atau lembaga tertentu dalam rangka pelaksanaan kegiatan dan fungsi dari penciptanya.


Kebalikan dari dokumen literer yang dikelola oleh perpustakaan, objek minat yang dapat diidentifikasi dalam arsip adalah suatu materi-materi yang bersifat unik, kompleks dan saling berhubungan. Fonds bersifat coherent dan identifiable karena semua arsipnya menggambarkan asal-usul unit penciptanya secara umum (principle of provenance), yang berasal dari satu sumber dan konteks. Biasanya satu fonds terdiri atas ratusan atau ribuan, bahkan jutaan items, meskipun tidak dipungkiri juga ada yang hanya terdiri dari satu item.  Seperti halnya terbitan berseri, banyak fonds yang bersifat terbuka (seperti dalam undang-undang kearsipan kita bahwa pada dasarnya arsip statis bersifat terbuka). Item-item dalam fonds biasanya berupa manuskrip maupun typescripts, tetapi juga berbentuk berbagai ragam media, seperti gambar, perencanaan, bagan, peta, foto, audio, video, audio-video, arsip dinamis elektronik, dll.


Perbedaan arsip dan perpustakaan tidak hanya pada ciri apa yang mereka ingat, tetapi atas siapa yang mereka ingat.  Pada saat aksesibilitas internet secara cepat mengubah perilaku pengguna perpustakaan dan arsip, namun keduanya secara tradisional melayani komunitas yang berbeda, meskipun kadang-kadang juga tumpang tindih.  Secara umum perpustakaan melayani masyarakat, kalangan pendidikan dan komunitas cendikia. Sementara arsip, secara hukum, berfungsi sebagai memori lembaga badan-badan pemerintah/swasta secara khusus. Lembaga-lembaga pemerintah maupun swasta memiliki kewajiban hukum dalm hal penyimpanan arsip-arsipnya. Arsip mengingatkan kita akan sejarah, yakni dengan cara melakukan preservasi sebagian besar bahan-bahan mentah  yang digunakan sebagai landasan pemahaman historis kita. Baik memori legal maupun historis memerlukan tingkat kepercayaan pengguna yang tinggi terhadap otentisitas dan integritas arsip tersebut. Arsip merupakan bukti, baik secara legal maupun historis.


Perbedaan antara arsip dan perpustakaan atas apa dan untuk siapa keduanya ingatkan, hal ini semakin menjelaskan perbedaan utama dalam deskripsi kearsipan dan bibliografis. Deskripsi bibliografis, seperti dalam cantuman MARC, mewakili sebuah item yang dipublikasikan secara individual, dengan demikian bersifat item-level. Ada hubungan one-to-one antara deskripsi dan itemnya. Deskripsi tersebut berdasarkan, dan berasal dari, item fisik. Lain halnya dengan deskripsi kearsipan. Deskripsi kearsipan mewakili suatu fonds, yakni badan materi yang begitu kompleks, yang biasanya medium dan bentuknya bermacam-macam, yang membagi suatu asal-usul yang umum (provenans). Deskripsi arsip (arsip statis tentu saja) memerlukan suatu analisis yang kompleks, hierarkhis dan progresif, dengan dimulai pendeskripsian  kesemuanya, lalu subkomponen dari subkomponen, dst. Seringkali dalam pendeskripsian arsip berakhir dengan pendeskripsian item individual, meskipun hal ini bukan tujuan akhir deskripsi itu sendiri. Deskripsi arsip lebih menekankan struktur intelektual dan isi dari arsip, bukan karakteristik fisik semata. 


Karena materi-materi yang ada dalam fonds berfungsi sebagai bukti legal maupun historis, sangatlah penting untuk mendokumentasikan konteks penciptaan arsipnya, dan memberikan suatu analisis struktur internal dan isinya. Dalam istilah kearsipan, hal ini dikenal dengan istilah  respect des fonds. Respect des fonds meliputi dua prinsip yang penting, yakni prinsip asal-usul (principle of provenance) dan prinsip aturan asli (principle of original order). Dalam deskripsi arsip, pendokumentasian asal-usul meliputi penyediaan sejarah administratif suatu unit pencipta, atau biografi orang perorang atau famili. Dalam sejarah administratif unit pencipta maupun biografi orang perorang/famili, di dalamnya juga dideskripsikan tanggung jawab serta aktivitas fungsionalnya.  Untuk mendokumentasikan prinsip aturan asli, cakupan dan analisis isi menjelaskan secara detail terhadap fungsi-fungsi arsip tersebut, aktivitasnya, tanggalnya, serta wilayah geografis; penataan dan bentuk dokumentasi; serta subjek-subjek yang diwakilinya. Dengan demikian, deskripsi arsip merupakan koleksi – atau fonds-level, yang mengandung analisis hierarkhis dan terinci terhadap keseluruhan dan sub-sub-komponennya yang menekankan pada prinsip asal-usul, pengorganisasian, penataan, serta isi dari materi tersebut. 


Perlu diketahiu bahwa deskripsi arsip berbeda dengan deskripsi bibliografis pada perpustakaan. Deskripsi bibliografis, pada umumnya ringkas. Satu keseluruhan deskripsi sering ditulis dalam satu kartu, atau barang kali dua atau tiga. Deskripsi arsip juga ringkas – khususnya bila unit deskripsinya satu item atau deskripsinya hanya merupakan sebuah rangkuman – tetapi juga bisa menjadi seribu atau lebih panjang halamannya. Rata-rata detail deskripsi arsip ada sekitar 15-30 halaman panjangnya. 


Encoded Archival Description

Standarisasi deskripsi arsip memerlukan beberapa standar terkait lainnya. Pertama, perlu adanya suatu standarisasi komponen-komponen utama atau kategori-kategori deskripsi, serta keterkaitan kategori tersebut.  Ini merupakan semantik intelektual dan sintaks deskripsi arsip, khususnya kerangka kerja struktural yang menyeluruh.  ISAD(G) merupakan standar struktural deskripsi arsip yang dirintis oleh ICA. Kedua, perlu adanya standar isi, dengan spesifikasi  pada kategori-kategori yang disyaratkan maupun pilihan, bagaimana cara menulisnya, dan apa saja yang harus diisi dalam setiap kategorinya. Ketiga, berbagai aturan standar  diperlukan dalam kendali informasi seperti kode geografis, negara dan bahasa; nama personal, korporasi, dan famili; serta subjeknya. Terakhir, harus ada format komunikasi standar atau sintaks yang mewakili standar struktural.  Standar komunikasi ini memungkinkan information sharing antara komputer dan manusia (user).  Encoded Archival Description (EAD), berdasarkan pada ISAD(G), merupakan standar komunikasi deskripsi arsip.


Encoded Archival Description memakai Definisi Tipe Dokumen (DTD) Standard Generalized Markup Language (SGML) dan  Extensible Markup Language (XML) Document Type Definition (DTD). SGML merupakan suatu standar yang tidak bergantung pada hardware dan software di bawah pengawsan ISO untuk pengembangan skema enkoding bahan tekstual.  SGML pertama kali dirilis pada tahun 1986, dan mengalami sukse besar dalam pemerintahan, industri maupun lembaga pendidikan. Karena SGML lumayan terbilang rumit, dengan fitur-fiturnya yang menantang, para programmer menemukan berbagai kesulitan di dalamnya. Berikutnya adalah XML yang merupakan subset SGML yang kompatibel yang dikembangkan oleh  World Wide Web Consortium (W3C) and telah disetujui pada bulan Februari 1998. XML dan standar mitranya, Extensible Stylesheet Language (XSL) serta Extensible Linking Language (XLink), menyediakan sebagian besar fungsionalitas SGML dan standar-standar terkait lainnya  (DSSSL dan HyTime). XML tampaknya oleh para pengembang software dianggap sebagai standar yang menjanjikan di masa mendatang dan banyak diakui oleh publik. Karena DTDnya sesuai dengan SGML dan XML, EAD juga diuntungkan dengan adanya software SGML yang ada, begiu juga dengan XML. 


Dengan belajar dari ISAD(G), DTD dari EAD menekankan pada ciri hierarkhis deskripsi arsip. Dengan mengikuti deskripsi keseluruhan koleksi (fonds), misalnya, nama tempat simpan (repository) hanya akan diberi dalam deskripsi keseluruhan, dan tidak diulang dalam deskripsi sub-komponennya. 


DTD dalam EAD berisi tiga element level-tinggi:  <eadheader>, <frontmatter>, and <archdesc>.  <eadheader> digunakan untuk mendokumentasikan deskripsi arsip atau alat bantu temu kembali, sementara  <frontmatter> digunakan untuk menyediakan informasi yang ditampilkan seperti halaman judul, dan teks prefatori lainnya.  <archdesc> berisi deskripsi arsip itu sendiri, sehingga merupakan inti (core) dari  EAD.


Tanda <archdesc> berisi beberapa kategori deskriptif level-tinggi yang berisi kategori-kategori lebih rinci. Unsur terpenting dalam pada level-tingggi adalah  <did> atau identifikasi deskriptif. Tujuan tag  <did> adalah untuk memberikan informasi pokok kepada pengguna untuk mengidentifikasi materi-materi arsip dan  membuat aturan yang dapat diterima terkait dengan relevansinya.  Oleh karena itu, tag <did> berisi elemen-elemen untuk mengidentifikasi judul, tanggal penciptaan, pencipta, jangkauan, dan tempat simpan khasanah arsip (holding repository), serta elemen yang menjelaskan intisari cakupan dan isi materi serta biogarfi ringkas atau sejarah pencipta.  Elemen di belakan tag <did> adalah elemen-elemen yang memberikan informasi administratif, seperti batasan akses atau penggunaan (hak cipta); berbagai biografi dan sejarah yang mendetail, dan cakupan serta isi; materi-materi yang terkait; akses terkendali; dsb. Sementara itu, tag  <archdesc> berisi suatu elemen yang memfasilitasi suatu analisis terinci terhadap komponen-komponen suatu  fonds, tag <dsc> atau deskripsi komponen subordinat.  Dengan mengikuti prinsip yang ada dalam ISAD(G) bahwa semua elemen deskripsi tersedia dalam semua level deskripsi secara bertingkat/hierarkhis maka tag  <dsc> berisi elemen yang dapat diulang, tag  <c> atau komponen, yang memiliki semua komponen deskriptif di dalamnya yang dimiliki dalam tag  <archdesc> . dengan demikian, tag <c>s dapat "nested" di dalam tag <c> dalam berbagai level yang diperlukan untuk mendeskripsikan secara penuh terhadap semua komponen  fonds.


EAD memiliki kelebihan terhadap deskripsi arsip digital untuk mendukung keterkaitan deskripsi arsip digital yang asli dan representasi arsip digital. Oleh karena itu, EAD dapat digunakan untuk menyediakan akses langsung terhadap manuskrip, korespondensi, materi gambar, peta, dsb.  Kaitan (link) tersebut dapat digunakan untuk memperluas deskripsi arsipnya dengan menyediakan berbagai contoh yang representatif terhadap materi yang dideskripsikan, atau menyediakan akses ke seluruh fonds


Prospek EAD di Masa Depan

EAD mewakili suatu tahap awal transformasi deskripsi arsip dengan menggunakan teknologi informasi. EAD juga meyediakan suatu sarana untuk menciptakan deskripsi arsip konvensional versi   machine readable. Fitur dalam EAD menekankan pada display, serta pengindeksan yang relatif sederhana.  EAD juga memungkinkan dalam akses jaringan dan pengindeksan secara full text.


Ada dua buah hasil dari inovasi EAD yang telah dikembangkan oleh para pakar. Di antaranya:  otoritas kontrol serta versi bahasa khusus  EAD. Meskipun EAD mengakomodasi informasi biografis dan historis, ada dua keuntungan yang sangat kentara dalam mencipta dan memelihara informasi ini secara bebas dari deskripsi arsip. Saat ini  ada sebuah terobosan pengembangan EAD yang telah direkayasa oleh ICA bagian pendeskripsian badan korporasi, person serta famili, International Standard Archival Authority Record for Corporate Bodies, Persons, and Families (ISAAR(CPF). DTD berbasis ISAAR(CPF) akan memudahkan dalam pembangunan database biografis dan historis yang diakui secara internasional sehingga dapat mendokumentasikan badan-badan pemerintah, swasta/korporasi, individu, maupun famili yang nantinya menjadi pintu gerbang deskripsi serta sumber-sumber kearsipan.


Penerapan EAD secara internasional mengalami kendala, khususnya dalam hal bahasa.  Para arsiparis yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris mengalami kendala dalam memahami dan menerapkan standar EAD ini. Oleh karena itu, EAD versi bahasa selain Inggris mutlak diperlukan. Namun saat ini telah ada HyTime architectural form processing yang memungkinkan EAD DTD versi bahasa-khusus yang dapat dipetakan ke dalam versi bahasa Inggris sebagai bentuk  canonical untuk tukar komunikasi. 


Kesimpulan

Sejak dirilisnya EAD versi alfa pada bulan Januari 1996, banyak institusi memori seperti arsip dan perpustakaan koleksi khusus/manuskrip yang menerapkan EAD ini. Di AS, lebih dari 30  repositories di Kalifornia telah membentuk suatu konsorsium yang diberi nama  the Online Archive of California (OAC). Saat ini, ada sekitar 70.000 halaman pada alat bantu temu kembali arsip yang di-encode  yang mendeskripsikan lebih dari 3000 koleksi dalam database OAC, dan dengan penggunaan jasa konversi, databasenya diharapkan bisa berlipat ukurannya dalam dua tahun mendatang. Texas, New Mexico, dan Virginia sedang mengembangkan model konsorsium serupa OAC. Di Amerika sendiri, yang telah menerapkan EAD antara lain  Library of Congress, Harvard University, Yale University, Duke University, the Minnesota Historical Society, University of North Carolina, University of Michigan, and the University of Virginia.  


Sumber:

Mengenai EAD banyak saya kutip dari sumber aslinya, http://lcweb.loc.gov/ead/ dan http://jefferson.village.virginia.edu/ead.

7/3/08

Ilmu Kearsipan Sebagai Disiplin Akademik

Kearsipan lahir bersamaan dengan lahirnya peradaban manusia, yakni ketika manusia mengenal tulisan. Dengan diketahuinya bangsa Mesir dan Mesopotamia pertama kali melakukan transaksi arsip (dinamis) karena alasan administrasi dan kebuktian, hal ini dicatat sejarah sebagai faktor utama ditemukannya tulisan. Pada saat yang bersamaan, juga lahir berbagai tulisan mengenai agama/kepercayaan maupun literatur ceritera sekitar 3000 tahun SM. Dengan demikian, diasumsikan bahwa permasalahan preservasi informasi tertulis telah ada sekitar 5000 tahun yang lalu.

Meskipun kegiatan kearsipan pada saat itu masih sederhana, yakni dengan penerapan metode pengawasan (controlling) dan penataan (arranging) arsip namun dapat dikatakan bahwa “ilmu kearsipan” sudah mulai lahir saat itu.

Ilmu kearsipan (archival science) merupakan suatu istilah atau tubuh pengetahuan (a body of knowledge) yang telah digunakan sekitar ratusan tahun silam, khususnya di Eropa. Di Amerika dan Australia tidak mengenal “Archival Science”, mereka lebih memilih istilah “Archives / Records Studies” atau “Records Management/Archives Administration”. Hal ini bisa kita lihat di berbagai universitas penyelenggara jurusan kearsipan di kedua negara tersebut. Kadang-kadang program studi kearsipan digabung dengan ilmu perpustakaan karena pengaruh ilmu dokumentasi yang dicetuskan oleh Paul Otlet.

Pada tahun 1790 ilmu kearsipan telah diajarkan pertama kali di universitas di Mainz, yang selanjutnya diikuti dengan program pendidikan di Naples dan Munich. Muatan kuliah jurusan kearsipan saat itu berkenaan dengan pengaturan arsip dan diplomatika. L´ecole des chartes yang terkenal di Perancis mulai didirikan pada tahun 1821. Pada saat yang sama, Archiveschule di Marburg mulai didirikan.

Sebelum abad ke-19, pekerjaan mengenai kearsipan (dalam konteks Indonesia, kearsipan berarti gabungan antara records management dan archives administration) sangat terkait dengan manajemen arsip dinamis. Manajemen arsip dinamis dan dokumen dilihat sebagai suatu aktivitas untuk membantu lembaga pemerintahan, khususnya untuk tujuan kebuktian dan hukum.

Selama abad ke-19, fokus ilmu kearsipan bergeser dari pelayanan organisasi dengan metode pengelolaan arsip dinamis aktif secara efisien, ke preservasi arsip dinamis inaktif (archives) di berbagai lembaga kearsipan, seperti arsip nasional. Saat ini, tugas utama seorang arsiparis adalah melakukan preservasi sumber informasi yang otentik dan andal untuk keperluan para peneliti, seperti sejarawan. Inilah yang membedakan praktek kearsipan antara Eropa dan Amerika untuk tahap berikutnya. Di Amerika dan sebagian negara lain memisahkan profesi antara records manager dan archivist. Meskipun arsiparis di Indonesia merupakan gabungan keduanya, tetapi dalam praktek lebih banyak melakukan fungsi-fungsi archivist, sementara profesi records manager sebenarnya belum ada, misalnya sampai saat ini (tahun 2008) di negara kita belum ada asosiasi ataupun kode etik records manager. Adapun Asosiasi Arsiparis Indonesia, yang bernaung di bawah Arsip Nasional RI, sebenarnya lebih condong pada archivists, bukan records manager. Namun hal ini sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, dan tidak perlu ada asosiasi ataupun kode etik records manager secara terpisah. Sebaliknya, kita sebenarnya diuntungkan karena sesuai dengan ISO 15489 yang lebih menghendaki penyatuan antara records manager dan archivist yang diilhami dengan konsep records continuum yang diterapkan di Australia.

Di sebagian negara di Eropa, pemisahan records manager dan archivist tidak sebegitu kentara seperti halnya di Amerika. Oleh karena itu, kadang-kadang sulit untuk membandingkan perkembangan dan perbedaan definisi akan muatan ilmu kearsipan di berbagai negara. Contohnya, di Belanda dan Swedia, ketika berbicara archival science atau archivistic berarti termasuk records management juga.

Akan tetapi, selama dua dekade terakhir para ilmuwan mulai menyadari akan perlunya kesinambungan antara records management dan archives management/administration, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (dengan adanya electronic records).

Lantas apa itu ilmu kearsipan (archival science)? Di Indonesia, tentu saja istilah ‘kearsipan’ barangkali mengadaptasi (untuk tidak mengatakan mengadopsi begitu saja) dari kultur Amerika. Hal ini bisa dilihat dari nama jurusan kearsipan di perguruan tinggi di Indonesia, misalnya di UGM(D3), UNDIP(D3) dengan istilah ‘Kearsipan’, di UI(D3) dulu ‘kearsipan’, kini menjadi ‘Manajemen Informasi dan Dokumen’, sementara S.2 UI memakai nama ‘Ilmu Perpustakaan, Informasi dan Kearsipan’

Luciana Duranti mendefinisikan ilmu kearsipan sebagai berikut:
”Ilmu kearsipan merupakan tubuh pengetahuan mengenai ciri dan karakteristik arsip dan pekerjaan arsip, yang terorganisasi secara sistematis ke dalam teori, metodologi dan praktek. Teori kearsipan merupakan keseluruhan ide para arsiparis tentang apa itu materi kearsipan; sementara metodologi kearsipan merupakan keseluruhan ide para arsiparis tentang bagaimana memperlakukan materi kearsipan; dan praktek merupakan aplikasi kedua ide teoretis dan metodologis tersebut ke dalam situasi yang nyata dan konkrit” (Duranti, 1997)

Di sini tampak bahwa ilmu kearsipan lebih banyak diinterpretasikan seperti struktur teoretis yang mendukung kegiatan kearsipan praktis, daripada misalnya disiplin akademik. Penggunaan ekspresi “tubuh pengetahuan” lebih lanjut menyarankan arti ini.

Definisi yang mirip juga dikemukakan oleh Thomassen bahwa ilmu kearsipan berbeda dengan ilmu-ilmu lainya karena tujuannya, objeknya dan metodologinya. Objeknya adalah process-bound information, yakni baik informasi maupun proses yang menciptakan informasi serta struktur informasi tersebut. Tujuannya adalah pembentukan dan pemeliharaan kualitas kearsipan, yakni visibilitas optimal dan durabilitas arsip dinamis, penciptaan proses kerja dan kesalingterkaitannya. Metodologinya adalah analisis, perekaman dan pemeliharaannya dan berbagai keterkaitan antara fungsi informasi yang terekam di satu sisi dan bentuk, struktur serta konteks asal-usulnya di sisi yang lain (Thomassen, 2001)

Selama abad ke-19, arsip dilihat sebagai penyedia dan pemelihara sumber-sumber yang andal bagi para sejarawan, biasanya arsiparis menyandang gelar kesarjanaan jurusan sejarah. Ilmu sejarah masih dikaitkan dengan ilmu kearsipan, dan juga menjadi bagian satu divisi dalam suatu perguruan tinggi. Dalam konteks Indonesia, misalnya, di UI, UGM, dan UNDIP yang masih menginduk di Fakultas Sastra/Ilmu Budaya, kecuali di UNPAD yang menginduk pada FISIP.

Perkembangan ilmu kearsipan harus dimengerti dengan kaitannya dengan profesi kearsipan dan sebaliknya profesi kearsipan harus dianalisis dengan kaitannya dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan ini berfungsi sebagai tuntutan atas pendidikan dan penelitian kearsipan. Ilmu kearsipan sebagai disiplin akademik merupakan subjek yang menekankan atas kebutuhan masyarakat.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak besar terhadap cara kita mengangggap records dan archives (kalau tradisi Malaysia menerjemahkan kedua istilah ini dengan persamaan bunyi frasa, yakni menjadi rekod dan arkib). Pendekatan kearsipan kontemporer dalam menghadapi arsip dinamis elektronik (electronic records) mewajibkan pendekatan yang integral antara records dan archives, atau dengan pendekatan records continuum model. Hal ini karena tidak mungkin mengelola arsip dinamis elektronik dengan pendekatan yang parsial (life cycle of records), khususnya dalam hal penilaian dan preservasinya

Perkembangan terkini dalam ilmu kearsipan berganti/bergeser dari arsip sebagai objek ke arsip sebagai bagian dari proses dan fungsi organisasi sehingga tuntutan pengelolaan informasi/arsip dinamis aktif semakin meningkat. Kemajuan dalam masyarakat dan teknologi ini telah mengantarkan para peneliti, misalnya Terry Cook, membicarakan wacana sebuah paradigma baru kearsipan.

Masyarakat informasi dan perkembangan teknologi informasi telah mengubah peran seorang arsiparis. Untuk mampu mengelola tantangan baru ini, ilmu kearsipan harus mengembangkan metode baru juga kolaborasi dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu komputer dan informatika. Selain itu, ilmu kearsipan sebagai disiplin keilmuan harus suportif dengan pendidikan profesi kearsipan modern serta program penelitian akademik.

Untuk merkembang menjadi disiplin akademik “sejati” ilmu kearsipan harus mengembangkan pusat studi/penelitian kearsipan. Untuk tingkat internasional kita bisa lihat program penelitian kearsipan seperti di Eropa dan Amerika Utara, misal: Interpares, the Cedar-project, dan di Australia yang kini menjadi pilot records continuum dengan proyeknya Records Continuum Research Group yang bernaung di Monash University.

Referensi:

Duranti, L. (1997). “The archival bond”, dalam Archives and Museum Informatics vol. 11/3-4, pp. 213-218.

Cook, Terry. “What is Past is Prologue: A History of Archival Ideas Since 1898 and the Future Paradigm Shift.” Archivaria 43 (spring 1997): 17-63.

Thomassen, T. (2001). “A First Introduction to Archival Science”, in Archival Science, no 1, pp. 373-385 dalam International Journal of Public Information Systems, vol 2005:1 online: http://www.ijpis.net

Total Pageviews