7/3/08

Ilmu Kearsipan Sebagai Disiplin Akademik

Kearsipan lahir bersamaan dengan lahirnya peradaban manusia, yakni ketika manusia mengenal tulisan. Dengan diketahuinya bangsa Mesir dan Mesopotamia pertama kali melakukan transaksi arsip (dinamis) karena alasan administrasi dan kebuktian, hal ini dicatat sejarah sebagai faktor utama ditemukannya tulisan. Pada saat yang bersamaan, juga lahir berbagai tulisan mengenai agama/kepercayaan maupun literatur ceritera sekitar 3000 tahun SM. Dengan demikian, diasumsikan bahwa permasalahan preservasi informasi tertulis telah ada sekitar 5000 tahun yang lalu.

Meskipun kegiatan kearsipan pada saat itu masih sederhana, yakni dengan penerapan metode pengawasan (controlling) dan penataan (arranging) arsip namun dapat dikatakan bahwa “ilmu kearsipan” sudah mulai lahir saat itu.

Ilmu kearsipan (archival science) merupakan suatu istilah atau tubuh pengetahuan (a body of knowledge) yang telah digunakan sekitar ratusan tahun silam, khususnya di Eropa. Di Amerika dan Australia tidak mengenal “Archival Science”, mereka lebih memilih istilah “Archives / Records Studies” atau “Records Management/Archives Administration”. Hal ini bisa kita lihat di berbagai universitas penyelenggara jurusan kearsipan di kedua negara tersebut. Kadang-kadang program studi kearsipan digabung dengan ilmu perpustakaan karena pengaruh ilmu dokumentasi yang dicetuskan oleh Paul Otlet.

Pada tahun 1790 ilmu kearsipan telah diajarkan pertama kali di universitas di Mainz, yang selanjutnya diikuti dengan program pendidikan di Naples dan Munich. Muatan kuliah jurusan kearsipan saat itu berkenaan dengan pengaturan arsip dan diplomatika. L´ecole des chartes yang terkenal di Perancis mulai didirikan pada tahun 1821. Pada saat yang sama, Archiveschule di Marburg mulai didirikan.

Sebelum abad ke-19, pekerjaan mengenai kearsipan (dalam konteks Indonesia, kearsipan berarti gabungan antara records management dan archives administration) sangat terkait dengan manajemen arsip dinamis. Manajemen arsip dinamis dan dokumen dilihat sebagai suatu aktivitas untuk membantu lembaga pemerintahan, khususnya untuk tujuan kebuktian dan hukum.

Selama abad ke-19, fokus ilmu kearsipan bergeser dari pelayanan organisasi dengan metode pengelolaan arsip dinamis aktif secara efisien, ke preservasi arsip dinamis inaktif (archives) di berbagai lembaga kearsipan, seperti arsip nasional. Saat ini, tugas utama seorang arsiparis adalah melakukan preservasi sumber informasi yang otentik dan andal untuk keperluan para peneliti, seperti sejarawan. Inilah yang membedakan praktek kearsipan antara Eropa dan Amerika untuk tahap berikutnya. Di Amerika dan sebagian negara lain memisahkan profesi antara records manager dan archivist. Meskipun arsiparis di Indonesia merupakan gabungan keduanya, tetapi dalam praktek lebih banyak melakukan fungsi-fungsi archivist, sementara profesi records manager sebenarnya belum ada, misalnya sampai saat ini (tahun 2008) di negara kita belum ada asosiasi ataupun kode etik records manager. Adapun Asosiasi Arsiparis Indonesia, yang bernaung di bawah Arsip Nasional RI, sebenarnya lebih condong pada archivists, bukan records manager. Namun hal ini sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, dan tidak perlu ada asosiasi ataupun kode etik records manager secara terpisah. Sebaliknya, kita sebenarnya diuntungkan karena sesuai dengan ISO 15489 yang lebih menghendaki penyatuan antara records manager dan archivist yang diilhami dengan konsep records continuum yang diterapkan di Australia.

Di sebagian negara di Eropa, pemisahan records manager dan archivist tidak sebegitu kentara seperti halnya di Amerika. Oleh karena itu, kadang-kadang sulit untuk membandingkan perkembangan dan perbedaan definisi akan muatan ilmu kearsipan di berbagai negara. Contohnya, di Belanda dan Swedia, ketika berbicara archival science atau archivistic berarti termasuk records management juga.

Akan tetapi, selama dua dekade terakhir para ilmuwan mulai menyadari akan perlunya kesinambungan antara records management dan archives management/administration, seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (dengan adanya electronic records).

Lantas apa itu ilmu kearsipan (archival science)? Di Indonesia, tentu saja istilah ‘kearsipan’ barangkali mengadaptasi (untuk tidak mengatakan mengadopsi begitu saja) dari kultur Amerika. Hal ini bisa dilihat dari nama jurusan kearsipan di perguruan tinggi di Indonesia, misalnya di UGM(D3), UNDIP(D3) dengan istilah ‘Kearsipan’, di UI(D3) dulu ‘kearsipan’, kini menjadi ‘Manajemen Informasi dan Dokumen’, sementara S.2 UI memakai nama ‘Ilmu Perpustakaan, Informasi dan Kearsipan’

Luciana Duranti mendefinisikan ilmu kearsipan sebagai berikut:
”Ilmu kearsipan merupakan tubuh pengetahuan mengenai ciri dan karakteristik arsip dan pekerjaan arsip, yang terorganisasi secara sistematis ke dalam teori, metodologi dan praktek. Teori kearsipan merupakan keseluruhan ide para arsiparis tentang apa itu materi kearsipan; sementara metodologi kearsipan merupakan keseluruhan ide para arsiparis tentang bagaimana memperlakukan materi kearsipan; dan praktek merupakan aplikasi kedua ide teoretis dan metodologis tersebut ke dalam situasi yang nyata dan konkrit” (Duranti, 1997)

Di sini tampak bahwa ilmu kearsipan lebih banyak diinterpretasikan seperti struktur teoretis yang mendukung kegiatan kearsipan praktis, daripada misalnya disiplin akademik. Penggunaan ekspresi “tubuh pengetahuan” lebih lanjut menyarankan arti ini.

Definisi yang mirip juga dikemukakan oleh Thomassen bahwa ilmu kearsipan berbeda dengan ilmu-ilmu lainya karena tujuannya, objeknya dan metodologinya. Objeknya adalah process-bound information, yakni baik informasi maupun proses yang menciptakan informasi serta struktur informasi tersebut. Tujuannya adalah pembentukan dan pemeliharaan kualitas kearsipan, yakni visibilitas optimal dan durabilitas arsip dinamis, penciptaan proses kerja dan kesalingterkaitannya. Metodologinya adalah analisis, perekaman dan pemeliharaannya dan berbagai keterkaitan antara fungsi informasi yang terekam di satu sisi dan bentuk, struktur serta konteks asal-usulnya di sisi yang lain (Thomassen, 2001)

Selama abad ke-19, arsip dilihat sebagai penyedia dan pemelihara sumber-sumber yang andal bagi para sejarawan, biasanya arsiparis menyandang gelar kesarjanaan jurusan sejarah. Ilmu sejarah masih dikaitkan dengan ilmu kearsipan, dan juga menjadi bagian satu divisi dalam suatu perguruan tinggi. Dalam konteks Indonesia, misalnya, di UI, UGM, dan UNDIP yang masih menginduk di Fakultas Sastra/Ilmu Budaya, kecuali di UNPAD yang menginduk pada FISIP.

Perkembangan ilmu kearsipan harus dimengerti dengan kaitannya dengan profesi kearsipan dan sebaliknya profesi kearsipan harus dianalisis dengan kaitannya dengan perkembangan masyarakat. Perkembangan ini berfungsi sebagai tuntutan atas pendidikan dan penelitian kearsipan. Ilmu kearsipan sebagai disiplin akademik merupakan subjek yang menekankan atas kebutuhan masyarakat.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak besar terhadap cara kita mengangggap records dan archives (kalau tradisi Malaysia menerjemahkan kedua istilah ini dengan persamaan bunyi frasa, yakni menjadi rekod dan arkib). Pendekatan kearsipan kontemporer dalam menghadapi arsip dinamis elektronik (electronic records) mewajibkan pendekatan yang integral antara records dan archives, atau dengan pendekatan records continuum model. Hal ini karena tidak mungkin mengelola arsip dinamis elektronik dengan pendekatan yang parsial (life cycle of records), khususnya dalam hal penilaian dan preservasinya

Perkembangan terkini dalam ilmu kearsipan berganti/bergeser dari arsip sebagai objek ke arsip sebagai bagian dari proses dan fungsi organisasi sehingga tuntutan pengelolaan informasi/arsip dinamis aktif semakin meningkat. Kemajuan dalam masyarakat dan teknologi ini telah mengantarkan para peneliti, misalnya Terry Cook, membicarakan wacana sebuah paradigma baru kearsipan.

Masyarakat informasi dan perkembangan teknologi informasi telah mengubah peran seorang arsiparis. Untuk mampu mengelola tantangan baru ini, ilmu kearsipan harus mengembangkan metode baru juga kolaborasi dengan ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu komputer dan informatika. Selain itu, ilmu kearsipan sebagai disiplin keilmuan harus suportif dengan pendidikan profesi kearsipan modern serta program penelitian akademik.

Untuk merkembang menjadi disiplin akademik “sejati” ilmu kearsipan harus mengembangkan pusat studi/penelitian kearsipan. Untuk tingkat internasional kita bisa lihat program penelitian kearsipan seperti di Eropa dan Amerika Utara, misal: Interpares, the Cedar-project, dan di Australia yang kini menjadi pilot records continuum dengan proyeknya Records Continuum Research Group yang bernaung di Monash University.

Referensi:

Duranti, L. (1997). “The archival bond”, dalam Archives and Museum Informatics vol. 11/3-4, pp. 213-218.

Cook, Terry. “What is Past is Prologue: A History of Archival Ideas Since 1898 and the Future Paradigm Shift.” Archivaria 43 (spring 1997): 17-63.

Thomassen, T. (2001). “A First Introduction to Archival Science”, in Archival Science, no 1, pp. 373-385 dalam International Journal of Public Information Systems, vol 2005:1 online: http://www.ijpis.net

No comments:

Total Pageviews