8/9/08

Kepustakawanan Sebagai Praktik Teknologi

Ditulis oleh putubuku di/pada Agustus 9, 2008

Dunia perpustakaan dan dunia informasi adalah dunia teknologi, khususnya teknologi tulis-menulis. Buku adalah “teknologi teks”, seperti halnya komputer dan telepon selular saat ini. Kedua teknologi terakhir ini toh digunakan orang untuk menulis teks! Ketika orang melakukan googling di Internet, mereka mengetikkan teks, sama seperti ketika dua sejoli saling berkirim SMS. Program-program komputer saat ini, entah itu program sederhana untuk perkantoran maupun program rumit untuk wahana ruang angkasa yang dikirim ke Mars, ditulis dalam bentuk teks. Pada akhirnya, semua teknologi informasi, mulai dari jaman batu, jaman bambu, jaman kertas, sampai jaman digital saat ini, adalah teknologi teks.

Kita dapat melihat, teknologi bukanlah semata-mata mesin. Pacey (1983) sudah menegaskan teknologi lebih tepat disebut “praktik yang menggunakan mesin” (technology practice). Sebagai sebuah praktik (aktivitas manusia), maka teknologi berkaitan dengan berbagai hal, seperti terlihat dalam bentuk diagram (lihat gambar). Dalam diagram itu kita bisa melihat ada teknologi dalam arti terbatas (sempit, atau restricted meaning of technology), yang mengandung di dalamnya alat atau mesin, selain juga pengetahuan dan keterampilan menggunakan alat atau mesin tersebut. Teknologi “sempit” ini bersinggungan dengan aspek budaya dan aspek organisasional untuk menjadi sebuah practice – aktivitas yang terus menerus dan meluas.

Berdasarkan pandangan Pacey di atas, kita dapat melihat kepustakawanan adalah sebuah praktik yang di dalamnya mengandung “teknologi sempit” (berupa buku dan komputer), selain aspek kultural dan organisasional. Sebuah perpustakaan bukanlah ditentukan oleh koleksinya, bukanlah gedungnya, dan terlebih-lebih bukanlah ditentukan oleh teknologi yang digunakannya. Demikian pula sebaliknya, teknologi sebagai mesin dan benda (buku maupun komputer) bukanlah apa-apa jika tidak diletakkan di sebuah organisasi dan konteks kebudayaan tertentu.

Pandangan Constant II (1993) dapat memperjelas konsep teknologi sebagai praktik sosial. terutama untuk memahami bagaimana sebuah teknologi lahir dan berkembang. Ia mengatakan, setiap teknologi mengandung 3 dimensi, yaitu:

* komunitas,
* sistem, dan
* organisasi.

Komunitas adalah kelompok terkecil dalam setiap kelahiran teknologi; terdiri dari sekelompok individu yang memegang suatu tradisi keilmuan tertentu. Misalnya, para ahli fisika membentuk kelompok kecil untuk mengembangkan superconductor. Komunitas ini bertanggungjawab terhadap lahirnya ide-ide tentang superconductor yang selanjutkan akan terus dikembangkan sampai akhirnya menjadi “technology practice”, misalnya dalam bentuk kereta api supercepat lengkap dengan jaringan rel, jasa perkeretaapian, arsitektur stasiun, dan sebagainya.

Untuk sampai menjadi sebuah technology practice, hasil kerja ilmuwan harus bersinggungan dulu dengan sistem, yaitu bagian yang lebih besar dari suatu teknologi; mencakup di dalamnya berbagai unsur, mulai dari geografi sampai ekonomi, politik, sejarah, dan sebagainya. Semua ini menjadi semacam penentu dari bagaimana akhirnya sebuah teknologi (yang diciptakan komunitas kecil di atas) terbentuk dengan gaya (style) tertentu. Jadi, ide tentang teknologi superconductor, atau solar cell atau robotic, misalnya, harus melalui semacam “saringan” dari masyarakat manusia tempat ide tersebut budaya. Saringan ini seringkali berupa ”kritik budaya”; (cultural critique) sebelum bisa berkembang menjadi, katakanlah, industri robot yang ramah lingkungan.

Dalam pandangan Constant, organisasi merupakan semacam ‘katalisator’ antara komunitas ilmuan / teknolog dengan masyarakat. Lewat organisasi, sebuah teknologi menjadi fungsional. Kumpulan para ahli yang tidak terorganisir dengan baik, akan sulit menghasilkan teknologi yang bisa berfungsi dengan baik. Dus, para ahli fisika memerlukan sebuah badan yang dilengkapi fasilitas dan sumberdaya cukup untuk bisa menghasilkan teknologi superconductor. Misalnya dalam bentuk lembaga riset terapan yang dibiayai penuh oleh negara.

Memakai cara pandang Pacey dan Constant di atas, kita dapat melihat kepustakawanan sebagai technology practice, khususnya untuk teknologi komunikasi (termasuk telekomunikasi) dan informasi. Buku (dan kini e-book) adalah “teknologi sempit” yang dihasilkan oleh teknik-teknik percetakan (dan kini komputer). Teknik-teknik percetakan dan komputer yang menghasilkan buku dan e-book ini sendiri lahir di laboratorium-laboratorium yang dihuni oleh komunitas ilmuwan (misalnya komunitas ilmuwan kimia yang menghasilkan temuan tentang tinta cetak, dan komunitas ilmuwan elektronik yang menghasilkan temuan tentang portable reader untuk e-book).

Buku dan e-book, atau koran dan digital television, akan tetap menjadi “teknologi sempit” kalau tidak bersinggungan dengan sistem yang lebih luas, yang di dalamnya mengandung aspek budaya dan aspek organisasional. Ketika buku menjadi bagian dari koleksi fisik perpustakaan, bersama dengan e-book menjadi koleksi digitalnya, dan koran serta televisi tersedia di ruang baca, maka terbentuklah technology practice berupa kepustakawanan. Tentu saja, benda-benda teknologi ini pada saat sama juga menjadi bagian dari berbagai technology practice lainnya, seperti industri buku, komunikasi massa, dan pemilihan umum (karena pemilihan umum moderen akhirnya melibatkan media massa, dan sekarang juga Internet; para calon presiden Amerika Serikat kini tampil di You-tube).

Akhirnya, praktik kepustakawanan bersama praktik perbukuan, praktik media massa dan praktik politik saling terjalin menciptakan sebuah konteks bagi teknologi tekstual yang juga kita namakan teknologi informasi itu. Bagaimana kondisi pertalian itu terjadi, menentukan “warna” sebuah masyarakat. Perhatikanlah bagaimana perpustakaan, penerbit buku, media massa, dan politik saling berkaitan di Indonesia, niscaya Anda akan melihat sebuah “warna” khas masyarakat Indonesia. Lalu bandingkanlah warna ini dengan warna negara lain, niscaya Anda akan mengetahui mengapa sebuah teknologi yang sama bisa menghasilkan masyarakat yang berbeda.

Bacaan:

Constant II, Edward W. (1993), “The Social Locus of Technological Practice: Community, System, or Organization?” dalam The Social Construction of Technological Systems: new directions in the sociology and history of technology, Wiebe E. Bijker, Thomas P. Hughes, Trevor Pinch (ed.), The MIT Press : Cambridge, Mass. h. 223 - 242.

Pacey, Arnold (1983), The Culture of Technology, Basil Blackwell : Oxford.
sumber iperpin.wordpress.com

No comments:

Total Pageviews