9/27/08

Menyoal Arsip: Adakah Teori dan Metodologinya?

Ditulis oleh putubuku dalam iperpin pada September 25, 2008

Secara umum dan awam, masalah-masalah kearsipan seringkali terkesan menjadi “anak tiri” dalam ranah ilmu perpustakaan dan informasi. Secara formal pun, orang lebih mengenal library and informasi science (biasa disingkat LIS) katimbang ilmu kearsipan (archival science). Latar sosial-budaya ikut berperan, sedemikian rupa sehingga soal-soal kearsipan lebih akrab di kalangan ilmuwan Eropa daripada ilmuwan Amerika Serikat. Di Eropa pun, semangat meneliti dan mengilmiahkan kearsipan tak merata; para ilmuwan Belanda, Prancis dan Inggris sepertinya lebih bersemangat dibanding rekan-rekannya dari Eropa Utara. Mungkin saja latarbelakang kolonialisme ikut mewarnai perbedaan ini.

Kita dapat menduga kaitan antara kolonialisme dan kearsipan jika melihat bahwa ketertiban administrasi adalah salah satu pilar bagi negara-negara kolonial untuk mempertahankan kekuasaan mereka atas negara-negara jajahan. Kolonialisme pun berkaitan erat dengan awal perkembangan industrialisasi yang juga bergantung penuh pada ketertiban organisasi dan birokrasi yang rapi. Tanpa administrasi dan birokrasi, mustahil menghadirkan perusahaan-perusahaan raksasa yang menjadi tulang-punggung bagi eksploitasi negara jejahan secara besar-besaran. Ini didukung pula oleh organisasi militer yang sangat berdisiplin, dan sama-sama mengandalkan ketertiban administrasi dan birokrasi.

Arsip lahir dari prinsip-prinsip ketertiban administrasi. Bandingkan dengan perpustakaan yang lahir dari prinsip-prinsip transformasi budaya (lewat teks). Dari segi ini, sebenarnya kearsipan lebih dekat dengan ilmu informasi, sebab ilmu informasi juga terlebih dahulu dikaitkan dengan sistem dan organisasi. Namun kita tahu bahwa kata “informasi” populer bareng-bareng kata “komputer”, sehingga kecenderungannya lebih ke kajian tentang segala hal yang berhubungan dengan aplikasi teknologi informasi. Ketika aplikasi ini menyentuh administrasi dan organisasi, yang muncul malah record management.

Dari sisi pandang keilmiahan, kegiatan arsip dan pengarsipan selama ini masih terlihat sebagai kegiatan teknis. Dan ini sebenarnya hampir sama dengan kesan yang muncul ketika orang mencoba mereduksi kegiatan perpustakaan. Arsip, perpustakaan, record management, maupun sistem informasi sangat mudah menimbulkan kesan “pertukangan” atau “teknis prosedural”, sebab kesemua bidang ini memang sarat oleh kegiatan teknis. Padahal, kearsipan pun mengandung berbagai aspek yang patut jadi bidang kajian ilmiah-teoritis. Sebagaimana disinyalir Fredriksson (2003), sudah banyak suara yang menginginkan post-modernisasi kearsipan agar menjadi “ilmu kearsipan” (archival science). Ia mengusulkan agar keilmiahan ini dikaitkan dengan konteks sosial dari produksi dan penggunaan arsip.

Dengan kata lain, Fredriksson (2003) ingin memperkuat epistemologi sosial bidang kearsipan, membawanya “ke luar dari kotak” persoalan teknis. Sembari mengatakan bahwa perdebatan tentang keilmiahan bidang arsip seringkali tak menyentuh soal metodologi, ia mengusulkan agar ilmu kearsipan dilihat dari dua sisi, yaitu:

  • Empirical archival science (dengan topik-topik tentang masyarakat dan arsip, hukum kearsipan, profesi arsiparis, penggunaan arsip, metode pengarsipan).

  • Normative archival science (teori pengarsipan, siklus penciptaan, penilaian, penataan dan deskripsi arsip, pelestarian, dan akses)

  • Sepintas kita dapat melihat bahwa baik aspek empiris maupun normatif yang diusulkan Fredriksson dapat disetarakan dengan pembagian antara “teoritis” dan “praktis” yang selama ini juga dikenal di bidang perpustakaan dan informasi. Perpustakaan maupun sistem informasi juga memiliki konteks sosial, aspek hukum, profesionalisme, masyarakat pengguna, dan pengelolaan atau manajemen objek informasi, selain aspek teknis (seperti pengembangan pangkalan data) dan prosedural (seperti pengindeksan dan pengatalogan).

    Perbedaan antara perpustakaan dengan arsip pun bisa sangat “tipis”. Seperti dikatakan Jimerson (2002), arsip dan naskah memerlukan teknik khusus yang sesuai dengan sifat dasarnya sebagai hasil atau byproducts transaksi di sebuah masyarakat. Materi arsip dianggap bukan sebagai produk penyampaian pesan atau karya kreatif, sebagaimana dokumen dan buku di perpustakaan. Arsip juga mengandung beberapa aspek yang tak terlalu dipentingkan di bidang perpustakaan, misalnya sifat alamiah, organik, sifat impartial, keotentikan dan keunikan. Nilai arsip datang dari konteks keberadaannya, bukan dari isi (subject matter). Prinsip-prinsip kearsipan seperti provenance, original order, dan collective description, merupakan upaya memastikan kelestarian nilai-nilai tersebut.

    Dari sini kita sebenarnya dapat membuat pengkhususan tentang kajian ilmiah dan metodologi di bidang arsip, tanpa harus membedakannya terlalu tegas dengan bidang perpustakan maupun informasi. Pengkhususan dapat dibuat untuk objek dan subjek penelitian arsip, yang dibatasi pada materi hasil transaksi bisnis, administrasi, pemerintahan, dan sebagainya. Untuk hal-hal lain, seperti konteks sosial, aspek hukum, profesionalisme, masyarakat pengguna, dan manajemen informasi, tak perlu ada pengkhususan. Berbagai teori untuk hal-hal ini sudah ada di bidang perpustakan dan informasi. Peneliti kearsipan dapat “meminjam” teorit-teori itu sekaligus menggunakan teknik atau metode penelitiannya.

    Bacaan:

    Fredriksson, B. (2003), “Postmodernistic Archival Science - Rethinking the Methodology of a Science” dalam Archival Science, Vol. 3 no. 2; hal. 177-197.

    Jimerson, R.C. (2002), “The nature of archives and manuscripts” dalam OCLC Systems and Services Vol. 18, no. 1; hal. 21-24.

    No comments:

    Total Pageviews