John Ridener, From Polders to Postmodernism: A Concise History of Archival Theory (Duluth, MN: Litwin Books, LLC, 2009).
Essai ini mengkaji secara mendalam kelahiran konsep-konsep dan prinsip-prinsip kearsipan, serta bagaimana konsep dan prinsip kearsipan ini dibentuk oleh faktor-faktor budaya dan teknologi – dengan menitikberatkan penilaian arsip sebagai segmen utama dalam teori kearsipan. Buku ini dapat dikatakan sebagai excellent book yang sangat berguna bagi para pembaca sebagai pengantar wacana atau issu-issu kearsipan karena secara gamblang mampu mengorek teori kearsipan abad yang lalu serta membangun framework yang berguna bagi siapapun untuk memahami mengapa teori kearsipan itu krusial dan bagaimana kelahirannya, perkembangannya, serta perdebatan yang ditimbulkannya. Terry Cook, dalam pengantarnya mengatakan bahwa buku ini merupakan “an approachable entreé" terhadap beragam teori, konsep, gagasan, dan asumsi-asumsi yang telah menghidupkan ghiroh para arsiparis abad lalu di belahan dunia yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, English-speaking world (hlm. xiii). Menurut Cook, Ridener telah menyumbangkan wacana dan berbagai pengetahuan yang menstimulus sejarah intelektual kearsipan sebagai suatu fungsi sosial (hlm. xvii).
Lantas, mengapa buku ini layak untuk kita baca? Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, Ridener mampu membuat satu hal yang meyakinkan mengapa teori menjadi satu komponen yang krusial dalam pengetahuan arsip, dan mengapa bagian konseptual pengetahuan kita terus ditekan dan dipengaruhi oleh berbagai perkembangan teknologi dan berbagai disiplin, seperti sejarah, yang telah mengembangkan kerangka kerja intelektual dengan menggunakan bukti yang ada dalam sumber arsip. Bagian yang terbaik dalam analisis Ridener, secara berurutan difokuskan pada tiga generasi perintis pengetahuan arsip; pertama adalah Manual Trio Belanda (Muller, Feith, dan Fruin), kemudian manualnya Hilary Jenkinson, dan terakhir adalah karyanya Schellenberg, Modern Archives. Meskipun sedikit sekali para pendidik kearsipan yang menyarankan siswa/mahasiswanya membaca Manual Trio Belanda, kalaupun tidak, toh hanya sebagai informasi sekilas konteks historis kelahiran profesi kearsipan modern, namun karya Jenkinson dan Schellenberg terus dijadikan sebagai satu-satunya rujukan hampir oleh setiap arsiparis (apakah sebenarnya karya-karya mereka dibaca dan dipahami atau tidak).
Ridener mengambil ide-idenya dari ketiga manual tersebut, baik dalam konteks sejarah maupun sosial. Dalam mengapresiasi manual Belanda, dia menulis "karena para sejarawan merupakan pengguna pertama arsip, orientasi profesi mereka terhadap kebenaran yang objektif menjadikan perlunya ketepsediaan arsip yang jbjeithf..**Qtajdarisasi teori dan praktek kearsipan akan menopang tujuan para sejarawan serta pendekatan ilmiahnya juga akan saling menguntungkan para arsiparis dan sejarawan juga (hlm. 26). Sebaliknya Jenkinson, Ia tampak menjaga jarak antara arsiparis dengan administrator (pengelola arsip dinamis). "arsiparis hendaknya tidak berurusan dengan arsip dinamis (records) karena arsip dinamis diciptakan tanpa keterlibatan arsiparis. Bagi Jenkinson, hal ini merupakan satu-satunya cara untuk menjamin adanya bukti yang objektif yang adal dalam arsip" (hlm. 56). Sementara dalam membicarakan Schellenberg, Ridener mengatakan bahwa gagasan-gagasan Schellenberg lahir bersamaan dengan didirikannya Arsip Nasional Amerika yang konteks historisnya adalah bersamaan dengan adanya "banjir arsip" modern, sehingga Schellenberg mengeluarkan "ijtihadnya" untuk menilai arsip apa yang perlu disimpan dan apa yang perlu dimusnahkan (what to keep and what to destroy).
Ridener menggambarkan ide-ide ketiga pentolan kearsipan abad lalu ini (Trio Belanda, Jenkinson, dan Schellenberg) sebagai pemikir kearsipan pioner. Namun dalam Bab tentang "questioning archives,”, Ridener mencoba mengangkat tema "mempertanyakan arsip" yang digagas oleh beberapa arsiparis kontemporer dengan gagasan-gagasan mereka yang posmodern. Mereka antara lain Brian Brothman, Terry Cook, Carolyn Heald, Eric Ketelaar, dan Heather MacNeil. Kaum posmodern ini menggunakan teori-teori kritis dan tantangan-tantangan teknologi untuk membangun suatu dasar pengetahuan arsip yang berbeda. Ridener mengistilahkan paradigma baru dalam arsip ini karena "teori posmodern mempertanyakan reliabilitas arsip (archival records) bukan untuk memperdebatkan kebenaran arsip dan penulisan sejarah, namun untuk mengawali pemahaman lebih jauh mengenai berbagai asumsi yang arsiparis kerjakan dalam profesinya" (hlm. 124).
Dengan mengkaji ide-ide para pemikir kritis kearsipan mengenai teori dan praktek kearsipan ini membuat Ridener mengangkat issu-issu kearsipan yang fundamental. Contohnya, "Salah satu kekuatan di balik perubahan peranan arsiparis adalah dialektika antara objektivitas dan subjektivitas dalam teori kearsipan. Karena harapan-harapan kultural dan sosial terhadap arsip selalu berubah seiring dengan pergantian jaman, para arsiparis benar-benar berperan penting dalam menciptakan dan memelihara arsip yang adaptable" (hlm. 132). Ridener melihat adanya sebuah perubahan utama manifestasi teori dan praktek kearsipan akhir-akhir ini, khususnya dalam bagaimana arsip dan arsiparisnya dipandang. "Paradigma kearsipan masa lalu telah mengatakan bahwa para arsiparis berasumsi bahwa arsip (dinamis) tercipta sebagai hasil samping organisasi yang keberadaannya tidak memihak (impartial products of a business or organization's work. Paradigma penilaian arsip kontemporer mempertanyakan kebenaran tersebut tidak hanya pada arsip itu sendiri, namun juga para pencipta arsip itu sendiri" (hlm. 133-134).
Salah satu yang ingin ditekankan dalam buku ini adalah ingin menghumanisasi karya para teoretisi kearsipan Dalam mengkodifikasi dan mendeskripsikan arsip. Seringkali para pionir kearsipan ini ditempatkan dalam posisi yang inggi, seolah-olah mereka tidak perlu diperdebatkan. Ridener menyarankan agar gagasan-gagasan mereka sebaiknya dijadikan sebagai tantangan, dan kalau bisa, kita juga mewarnai paradigma kearsipan yang lain. Adalah suatu kepicikan kalau ada pendidik kearsipan yang hanya puas dan merasa establised dengan karya-karya kearsipan abad lalu.
Essai ini mengkaji secara mendalam kelahiran konsep-konsep dan prinsip-prinsip kearsipan, serta bagaimana konsep dan prinsip kearsipan ini dibentuk oleh faktor-faktor budaya dan teknologi – dengan menitikberatkan penilaian arsip sebagai segmen utama dalam teori kearsipan. Buku ini dapat dikatakan sebagai excellent book yang sangat berguna bagi para pembaca sebagai pengantar wacana atau issu-issu kearsipan karena secara gamblang mampu mengorek teori kearsipan abad yang lalu serta membangun framework yang berguna bagi siapapun untuk memahami mengapa teori kearsipan itu krusial dan bagaimana kelahirannya, perkembangannya, serta perdebatan yang ditimbulkannya. Terry Cook, dalam pengantarnya mengatakan bahwa buku ini merupakan “an approachable entreé" terhadap beragam teori, konsep, gagasan, dan asumsi-asumsi yang telah menghidupkan ghiroh para arsiparis abad lalu di belahan dunia yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris, English-speaking world (hlm. xiii). Menurut Cook, Ridener telah menyumbangkan wacana dan berbagai pengetahuan yang menstimulus sejarah intelektual kearsipan sebagai suatu fungsi sosial (hlm. xvii).
Lantas, mengapa buku ini layak untuk kita baca? Ada beberapa alasan yang mendasarinya. Pertama, Ridener mampu membuat satu hal yang meyakinkan mengapa teori menjadi satu komponen yang krusial dalam pengetahuan arsip, dan mengapa bagian konseptual pengetahuan kita terus ditekan dan dipengaruhi oleh berbagai perkembangan teknologi dan berbagai disiplin, seperti sejarah, yang telah mengembangkan kerangka kerja intelektual dengan menggunakan bukti yang ada dalam sumber arsip. Bagian yang terbaik dalam analisis Ridener, secara berurutan difokuskan pada tiga generasi perintis pengetahuan arsip; pertama adalah Manual Trio Belanda (Muller, Feith, dan Fruin), kemudian manualnya Hilary Jenkinson, dan terakhir adalah karyanya Schellenberg, Modern Archives. Meskipun sedikit sekali para pendidik kearsipan yang menyarankan siswa/mahasiswanya membaca Manual Trio Belanda, kalaupun tidak, toh hanya sebagai informasi sekilas konteks historis kelahiran profesi kearsipan modern, namun karya Jenkinson dan Schellenberg terus dijadikan sebagai satu-satunya rujukan hampir oleh setiap arsiparis (apakah sebenarnya karya-karya mereka dibaca dan dipahami atau tidak).
Ridener mengambil ide-idenya dari ketiga manual tersebut, baik dalam konteks sejarah maupun sosial. Dalam mengapresiasi manual Belanda, dia menulis "karena para sejarawan merupakan pengguna pertama arsip, orientasi profesi mereka terhadap kebenaran yang objektif menjadikan perlunya ketepsediaan arsip yang jbjeithf..**Qtajdarisasi teori dan praktek kearsipan akan menopang tujuan para sejarawan serta pendekatan ilmiahnya juga akan saling menguntungkan para arsiparis dan sejarawan juga (hlm. 26). Sebaliknya Jenkinson, Ia tampak menjaga jarak antara arsiparis dengan administrator (pengelola arsip dinamis). "arsiparis hendaknya tidak berurusan dengan arsip dinamis (records) karena arsip dinamis diciptakan tanpa keterlibatan arsiparis. Bagi Jenkinson, hal ini merupakan satu-satunya cara untuk menjamin adanya bukti yang objektif yang adal dalam arsip" (hlm. 56). Sementara dalam membicarakan Schellenberg, Ridener mengatakan bahwa gagasan-gagasan Schellenberg lahir bersamaan dengan didirikannya Arsip Nasional Amerika yang konteks historisnya adalah bersamaan dengan adanya "banjir arsip" modern, sehingga Schellenberg mengeluarkan "ijtihadnya" untuk menilai arsip apa yang perlu disimpan dan apa yang perlu dimusnahkan (what to keep and what to destroy).
Ridener menggambarkan ide-ide ketiga pentolan kearsipan abad lalu ini (Trio Belanda, Jenkinson, dan Schellenberg) sebagai pemikir kearsipan pioner. Namun dalam Bab tentang "questioning archives,”, Ridener mencoba mengangkat tema "mempertanyakan arsip" yang digagas oleh beberapa arsiparis kontemporer dengan gagasan-gagasan mereka yang posmodern. Mereka antara lain Brian Brothman, Terry Cook, Carolyn Heald, Eric Ketelaar, dan Heather MacNeil. Kaum posmodern ini menggunakan teori-teori kritis dan tantangan-tantangan teknologi untuk membangun suatu dasar pengetahuan arsip yang berbeda. Ridener mengistilahkan paradigma baru dalam arsip ini karena "teori posmodern mempertanyakan reliabilitas arsip (archival records) bukan untuk memperdebatkan kebenaran arsip dan penulisan sejarah, namun untuk mengawali pemahaman lebih jauh mengenai berbagai asumsi yang arsiparis kerjakan dalam profesinya" (hlm. 124).
Dengan mengkaji ide-ide para pemikir kritis kearsipan mengenai teori dan praktek kearsipan ini membuat Ridener mengangkat issu-issu kearsipan yang fundamental. Contohnya, "Salah satu kekuatan di balik perubahan peranan arsiparis adalah dialektika antara objektivitas dan subjektivitas dalam teori kearsipan. Karena harapan-harapan kultural dan sosial terhadap arsip selalu berubah seiring dengan pergantian jaman, para arsiparis benar-benar berperan penting dalam menciptakan dan memelihara arsip yang adaptable" (hlm. 132). Ridener melihat adanya sebuah perubahan utama manifestasi teori dan praktek kearsipan akhir-akhir ini, khususnya dalam bagaimana arsip dan arsiparisnya dipandang. "Paradigma kearsipan masa lalu telah mengatakan bahwa para arsiparis berasumsi bahwa arsip (dinamis) tercipta sebagai hasil samping organisasi yang keberadaannya tidak memihak (impartial products of a business or organization's work. Paradigma penilaian arsip kontemporer mempertanyakan kebenaran tersebut tidak hanya pada arsip itu sendiri, namun juga para pencipta arsip itu sendiri" (hlm. 133-134).
Salah satu yang ingin ditekankan dalam buku ini adalah ingin menghumanisasi karya para teoretisi kearsipan Dalam mengkodifikasi dan mendeskripsikan arsip. Seringkali para pionir kearsipan ini ditempatkan dalam posisi yang inggi, seolah-olah mereka tidak perlu diperdebatkan. Ridener menyarankan agar gagasan-gagasan mereka sebaiknya dijadikan sebagai tantangan, dan kalau bisa, kita juga mewarnai paradigma kearsipan yang lain. Adalah suatu kepicikan kalau ada pendidik kearsipan yang hanya puas dan merasa establised dengan karya-karya kearsipan abad lalu.
No comments:
Post a Comment